Selasa, 28 Mei 2013

Pelangi Kelabu



Aku melempar gelas itu tepat mengenai cermin di kamarku. “Praaaaaaaaaaaaang” semua pecah berantakan. Aku tak peduli lagi apa yang sedang  mereka bicarakan aku hanya ingin menyendiri disini. Berusaha melepaskan semua amarah dan kecewa, ingin rasanya aku berlari dari kenyataan. Tak peduli berapapun jauhnya aku hanya ingin bahagia.
Mereka terus mengetuk pintu kamarku, ku tutup telinga sekuat mungkin. Aku sudah terpaku diujung kamar ini sambil memeluk lutut menahan tangis sebisa mungkin. Aku harus kuat. Mereka yang selama ini menguatkanku tiba-tiba berubah layaknya serigala dengan cepat dapat membunuh siapa saja. Kali ini, mereka membunuh mimpiku, membunuh masa depanku dan membunuh kekuatanku.
Ruangan ini adalah saksi perjuanganku, aku tak pernah berhenti menggali semua hal yang membuatku bahagia.Seakan tak ada lagi harapan yang mampu membangkitkan semangatku. Aku mencoba berlari, jauh dari kenyataan tapi kenyataan semakin mendekat, menyadarkanku bahwa semua yang terjadi tak bisa kuulangi lagi. Dadaku terasa sesak terlalu sempit untuk terus berada disini.
“Kemana Amelia?” wanita aneh itu bertanya padaku.
Aku tak peduli, ia yang menghancurkan semuanya. Wanita yang tiba-tiba hadir ditengah kebahagiaan keluarga kami. Aku hanya mendengus sebal dihadapannya. Jujur saja rasanya aku ingin menikammya dengan apapun seperti ia mematikan masa depanku.”Jangan ikut campur yang bukan urusan anda, Nyonya” akhirnya aku membuka mulut, terpaksa. Ayah sudah menatapku tajam.
“Amelia, tolong jangan bersikap seperti itu terus” kali ini ayah memohon kepadaku.
“Amel akan tetap seperti yang ayah tahu dihadapan ayah, tapi tidak dihadapan wanita  itu” aku menjawab tak karuan.
“Amel, sejak kapan kamu berbicara seperti itu?” ayah tampak terkejut.
“Sejak perempuan itu ada disini dan menggantikan posisi ibu” aku langsung berlari pergi.tak lagi aku pedulikan ceracau ayah yang semakin tak karuan.


          Semua ini berlalu begitu cepat, tanpa jeda. Bahkan aku tak bisa melupakan semuanya begitu saja. Menyakitkan. Lebih baik aku melihat lelaki itu mati daripada ibu yang menderita. Aku saksi hidup dalam masalah ini, aku narasumbernya. Aku yang pertama kali melihat kejadian menjijijkan itu.
“Kau tahu om apa yang menyakitkan hati hingga hati itu mati?” kira-kira begitu aku memanggil laki-laki yang biasa aku panggil ayah.
            “Amelia, tahukah kau hal apa yang menyakitkan untuk orang tua? Tahukah kau Amel, bagaimanapun diriku, kau tetaplah anakku” ia menjawab santai.
            “Tak ada hal menyakitkan untuk lelaki sepertimu, semua itu tak sebanding atas apa yang kau lakukan padaku dan keluarga ini. Jiwaku sudah terlalu lelah untuk menghormati lelaki yang tak bisa menjaga hati dan dirinya untuk keluarga”
            “Semuanya tak seperti yang kau bayangkan, Amel. Percayalah pada ayah”
            “Tapi semuanya seperti yang aku lihat”
            “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi”
            “Dan kau tidak tahu apa yang terjadi pada ibu”
            “Ayah tak pernah meninggalkan ibu, nak” intonasinya melemah.
            “Tapi kau tetap bertahan dengan perempuan itu” aku menjawab kasar.
            “Ibumu yang meminta”
            “Karena kesabarannya telah habis dan kau -berselingkuh-“ aku lebih hati-hati dengan ucapan itu.
            Hempaskan semua lelah yang tak pernah berhenti menghampiri tubuh ini, takkan pernah rela ada jiwa yang selalu tersakiti, sekecil apapun itu dendam tak pernah usai. Jika kali ini ada kesempatan untuk mengakhiri tanpa ada kebahagiaan di masa depan, lebih baik mengakhiri semuanya. Tapi tak semudah itu, dendam tak akan merubah yang mati menjadi hidup kembali.
            Hidup itu bukan sekedar bahagia, luka, tertawa atau menangis.
Tapi lebih menitikberatkan pada kekuatan hati. Saat ditikam tanpa arah lalu menyisakkan luka. Bukan pula sekedar perjuangan mencabut duri dari kaki, tapi hidup tentang bagaimana mempertahankan harga diri. Terlalu munafik jika aku bisa hidup dengan kebencian yang begitu mendalam, padahal dalam lubuk hatiku aku merindukannya.
            “Sejauh apapun ia pergi, ia tetap ayahmu” ibu berbisik pelan “kau harus bisa memaafkannya” ibu melanjutkan kata-katanya.
          “Apakah ibu tidak sakit hati diperlakukan seperti ini?”
            Ibu tersenyum “Selalu ada balasan untuk orang-orang yang bersabar, Amelia. Kamu harus tahu itu”
            “Amel terlalu sakit, bu”
            “Ia tetap ayahmu, ia tetap walimu ketika kamu menikah” kali ini ibu benar-benar berhasil membujukkku untuk memafkan lelaki itu. “Tinggalah dengan ayahmu” ibu memohon.
            “Aku mau sama ibu”
            “Bersabarlah, ibu akan menjemputmu” ibu mencoba merayuku. “Tak akan lama Amelia”
            “Janji ibu akan kembali?” ibu mengangguk berat.
            ”Amel akan selalu merindukan ibu”
Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengan ibu, walaupun hanya dalam mimpi-mimpi itu. Ia terlalu tegar untuk menghadapi semua ini bersamaku. Bahkan ia tak pernah lagi bertanya bagaimana kabarku. Ia seakan sengaja pergi dan menghindar dari semuanya, termasuk menghindar dariku.
Aku lebih memilih untuk melanjutkan hidupku sendiri, mencari jati diri dan belajar menerima, aku memperhatikan setiap detik perkembangan mereka. Aku selalu tahu bagaimana kabar baik dan buruk ayah dan wanita itu serta anaknya yang lucu. Tapi aku tak pernah tahu bagaimana nasib ibu, tak ada satu pun keluarga yang memberitahuku.
“Kau tahu, Al. Semua terlalu cepat berlalu, bahkan saat aku belum sempat untuk berfikir. Saat aku bimbang dengan hatiku sendiri” aku mencoba menahan tangis, menarik nafas panjang, seakan aku sudah bosan dengan hidup ini.
“Termasuk mengapa kamu begitu membenci semua lelaki?” ia bertanya sinis.
“Tapi aku tak membencimu, Al” aku mendekatinya, mencium aroma tubuhnya. Mungkin ini yang terakhir. “Selalu ada maaf untuk orang-orang baik, selalu ada balasan untuk orang yang bersabar. Terimakasih karena kau mau terus bersabar”
“Karena aku tahu betapa sakitnya hatimu, aku bertahan agar kita saling menguatkan” ia tersenyum getir. “Terimakasih karena kau tak pernah membenciku, Mel” ia melanjutkan kalimatnya.
“Terimakasih sudah mau terus membantuku” aku memeluknya lembut.
“Kau tidak ingin melihat adikmu itu?” ia hati-hati mengucapkan kalimat itu.
“Aku masih belum bisa terima, Al” aku menahan tangisan itu “Masih terlalu sakit, aku masih belum bisa hidup dengan lebih realistis tapi aku belum mampu”
“Kau harus mampu Amelia. Aku akan terus menemanimu” ia menarik nafas “Kau harus bisa menerima takdir ini, Amelia. Semua ini cobaan agar kau lebih kuat”
“Namanya Aqila, sekarang usianya 4. Lucu dan menggemaskan” aku tersenyum getir “Ia mirip denganku, aku hanya berani melihatnya dari jauh. Aku tak berani mendekat. Aku takut, terlalu sakit melihatnya, Al. Aku melihat ayah menggendongnya, memeluknya dan menatapnya penuh kasih, sama seperti dulu ia memelukku. Ada kenangan yang tersisa dirumah itu, masih terlalu sakit untuk mengenangnya”
“Ayahmu merindukanmu, Mel” ia menatapku iba.
“Aku juga merindukan ayah, tapi aku terlalu sakit untuk menahan rasa kecewa itu”
“Sudah hampir 7tahun Amelia, harusnya kau bisa memaafkan”
“Hatiku sudah memaafkan tapi fisikku belum mampu melangkah kesana”
“Melangkahlah kesana, temui ayahmu”
Air mataku tak lagi sanggup aku bendung, tanggul itu seakan jebol. Aku menangis menahan rindu yang terlalu dalam, rindu yang tak terbalas, rindu yang menghujam bertahan beribu detik lamanya, jiwaku terlalu kecil untuk memaafkan. Aku terlalu kerdil untuk menerima kenyataan. Aku tak bisa menahan egoku, padahal rindu itu terus membatu.
***
Cirebon, 28 November 2010
Aku malu-malu melangkahkan kakiku ke tempat itu, aku sangat canggung. Wanita aneh itu mendekatiku, tapi ia mengurungkannya ia lebih memeilih membalikkan badannya, kembali kedalam rumah. Usianya hanya terpaut 9 tahun dariku, ia lebih pantas menjadi kakakku bukan ibu tiriku. Jujur saja ia cantik, wajahnya menenangkan. Ia selalu bisa menjadi orang yang menyenangkan. Mungki inilah sebabnya mengapa ia berhasil mengalihkan dunia ayahku, berhasil menjauhkanku dengan ayahku sendiri.
“Ameliaaaaaa” Ayah yang melihatku dengan berlari memelukku, ia menangis. Lihat ayah menangis sambil memelukku. Aku balik memeluknya.
“Ayah sehat kan? Ayah ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum vitamin itu kan, yah? Ayah lihat, sekarang Amelia sudah besar. Sekarang Amelia sudah bekerja ayah, ayah lihat kan Amelia semakin cantik tak kalah cantik dari Arini” aku memecahkan keheningan itu. Bahkan ayah tak marah saat aku menyebut nama wanita itu.
“Amelia kemana saja? Amelia tak rindu pada ayah? Ayah mencari Amelia kemana saja, ayah tanya pada semua teman tapi tak ada yang tahu. Ayah merindukanmu, Nak” ia memelukku semakin erat.
“Maafkan Amel, yah. Amel sibuk beberapa waktu terakhir” aku menahan perasaan itu, aku tak boleh lagi mendendam. Amel sibuk menata hati, yah. “Ayah belum jawab pertanyaan Amel. Ayah sehat kan? Ayah ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum vitamin itu kan, yah?” aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Ayah tersenyum, gurat wajahnya terlihat jelas, ia semakin menua tak segagah dulu. “Ayah selalu sehat, hanya hati ayah yang sedikit sakit karena menahana rindu tak terkira ini padamu”. Seorang anak kecil menghampiri ayah, usianya 4. Wajahnya lucu sekali ia menarik tanganku.
“Ini pasti Aqila” aku menebaknya asal. Ayah mengangguk,tersenyum tipis. “Aqila lucu sekali ya ayah, pasti gadis mungil ini yang membuat ayah tak pernah kembali”
“Ayah selalu kembali kesana Amel, ayah tak pernah pergi. Tapi ayah tak pernah menemukan siapapun. Rumah itu selalu kosong tapi tak pernah kotor”
“Mungkin saat itu Amel sedang pergi keluar kota” aku berbohong. Padahal aku meninggalkan rumah itu, mencari kehidupan baru.
“Ayah mengerti, Amel pasti menyibukkan diri. Melepaskan semua luka itu, ayah mengerti Amel”
“Arini mana yah?” aku mengalihkan pembicaraan.”Amel ingin pamit, Amel ingin pulang”
Ia didalam, mengapa kau buru-buru sekali Amelia. Bahkan kau belum duduk, kau belum bermain dengan Aqila. Harusnya kau bercerita banyak pada ayah, tentang kuliahmu, beasiswamu dan tentang lelaki yang akan meminangmu, ayah tak sabar ingin melihatmu menikah Amelia” ayah mengucapkannnya dengan nada kecewa.
“Amelia masih ada urusan lain ayah, urusan kantor. Amel hanya ingin mengetahui keadaan ayah, Amel ingin ayah selalu baik-baik saja” ayah menatapku lekat sekali “Amel janji yah, Amel akan kembali” aku memeluk ayah lalu berlalu tanpa berpamitan pada Arini, ibu tiriku itu.
***
Kebahagiaan terus menghampiri, aku mulai bisa menerima setiap keadaan, setiap kenyataan yang berlalu. Semua ini bukan dibayar dengan harga yang gratis, ada air mata , ada kecewa, ada luka yang tiada tara. Namun semua berakhir indah.
Pagi itu, ponselku berdering berkali-kali. Aku masih enggan untuk menerima telpon itu. Mungkin ini sudah yang ketiga puluh kali.
“Selamat pagi, dengan Amelia Novarini, ada yang bisa dibantu?” ucapku membuka pembicaraan.
“Amel ini ibu nak” suara diseberang sana membuat mataku benar-benar terbuka.
“Ibu...” aku setengah berteriak. “Ibu apa kabar?  Ibu dimana sekarang? Ibu sehat?” aku bertanya, melepaskan sedikit rindu.
“Ibu baik, saat ini juga bisakah kamu berangkat ke Cirebon sayang? Ibu akan segera menyusul, sebentar lagi ibu tiba disana” ibu sedikit memaksa.
“Iya bu, Amel berangkat” Aku bergegas menutup menuju Cirebon.

Cirebon, 24 Maret 2013
            Rumah itu dipenuhi banyak peziarah, bendera kuning berkibar dengan gagahnya. Hatiku berdegup hebat. Siapa yang meninggal? Ibu berlari kearahku, memelukku erat.
            “Kenapa bu?”
            “Esok hari, kau harus bisa memaafkan. Banyak hal tak terduga hadir dalam dunia ini” ia menelan ludah. “Mulai besok, ibu akan kembali ke rumah bersama Aqila”
            “Ayah?”
            “Ayah pergi bersama Arini”
            “Kemana?”
            “Pergi jauh Amel, mereka kembali pada Sang Pencipta”
            Air mata itu tiba-tiba mengalir deras, seakan aku tak ikhlas “Kenapa ayah juga harus pergi, Bu? Kenapa tidak Arini saja!” aku mencari sosok ayah yang telah terbujur kaku. “Harusnya waktu itu ayah minta Amel tetap disini, biar Amel bisa urus ayah” aku kembali menahan air mata itu “Harusnya ayah tak perlu menikahi wanita itu, harusnya waktu itu Amel saja yang mati bukan ayah” mulutku berceracau tak karuan.
            “Bukankah kau Amelia Novarini, wanita yang memiliki hati yang tulus? Wanita yang selalu bisa memaafkan? Bukankah kau Amelia Novarini gadis yang tak pernah menyerah? Bukankah kau Amelia Novarini, malaikat kecil ibu yang memiliki sejuta maaf, sejuta senyum, sejuta bahagia tapi nol iri, nol benci, dan nol dendam. Berhentilah membenci ayahmu nak, biarkan ia pergi dengan tenang. Biarkan ia bahagia disana, disini kita tak bisa membahagiakannya nak, ikhlaskan dan relakan ya. Jangan simpan dendam itu”
            Aku masih diam mencerna apa yang baru saja ibu katakan “Apa ibu sudah memafkan mereka bu?” aku bertanya getir.
            “Ibu sudah memaafkan, kan Amel sendiri yang menyuruh ibu untuk menjadi jiwa yang pemaaf” Ibu tersenyum lalu memelukku.
            Tak ada satupun yang tahu kapan ia kembali tapi bagaimana proses kita kembali adalah tanda tanya. Jadilah pribadi yang selalu memaafkan, menjadi pribadi yang  pemaaf nol iri nol benci dan nol dendan, tebar benih kebahagiaan dimanapun berada, jangan pernah ikut campur yang bukan urusan kita atau kau akan menjadi orang yang hobbynya menggunjing dan memfitnah. Sesakit apapun kematian adalah akhir segalanya. Maafkan dan ikhlaskan mereka yang telah pergi.


Deevika
Bekasi, 15 April 2013

Malam Tenggelam




Tak pernah terbersit sedikitpun tentang bagaimana rasa itu muncul, yang aku tahu semua mengalir secara tiba-tiba. Aku tak pernah memaksakan apapun. Dalam keheningan jiwa dalam penantian panjang dalam setiap mimpi-mimpi itu, tak pernah ada keinginan untuk memperjelas tantang rasa ini. Hingga tiba-tiba ia hadir tanpa disengaja, hadir dalam mimpiku, hadir dalam hidupku.
            Kamis pagi diawal 2010, aku menatap tajam pada seorang pria yang duduk disamping teras musolah kecil di ujung sekolah, ini adalah kali pertama aku melihat anak itu badannya kecil, tingginya sekitar 157cm kulitnya sawo matang. Ia pun tak kalah tajamnya ketika menatapku. Ia melihatku dari atas sampai kebawah tak henti.
            “Ada yang salah?” aku membuka pembicaraan, risih.
            “Saya bingung, saya tidak tahu ruang kelas saya” ia menjawab jujur, polos sekali dengan logat jawa yang begitu kental.
            “Baru pindah ya? Kelas berapa?”
            “Iya, kelas 11 TKJ”
            “Oh, ruangan itu berada dipojok dari sini kamu belok kanan lurus terus ada pertigaan belok kiri ruangannya paling pojok ya”
            “Oke, terimakasih” Ia menjawab lalu bergegas pergi.
            Aku menepuk jidatku, aku bahkan lupa menanyakan namanya. Ya sudahlah mungkin memang belum waktunya.

***
            Braaaakkkkkkkkkkkkkk
Suara hantaman sepeda motor dengan sebuah angkutan kota tak bisa terelakkan , aku menatap arloji ditanganku mendengus sebal, aku tak melihat apa yang terjadi jam pertama ada ujian lisan, aku sibuk dengan modul digenggaman tanganku,  membolak-balikkan tanpa henti menghapalkannya dengan cepat.
            Kecelakaan itu tepat didepan mataku, aku sejenak terdiam membisu. Motor itu melaju dengan kecepatan normal, tiba-tiba angkutan kota disebelahnya menyalip hingga pengendara itu terpental jauh beberapa meter. Awalnya ia masih baik-baik saja, namun dari arah belakang sebuah truk pasir menghantam tubuhnya saat ia berusaha bangkit, tubuhnya semakin terpental jauh, helmnya terlepas dari kepalanya. Aku meringis sedih.
Keramaian semakin terasa, kemacetan semakin panjang. Aku mendengus semakin kesal. Akhirnya aku putuskan turun dari angkuatan kota itu. Melanjutkan berjalan kaki. Siswa lainnya pun mengikuti jejakku. Tiba-tiba pandanganku nanar menatap korban kecalakaan itu, aku sangat mengenali sepatu dan tas yang ia kenakan. Aku menarik salah seorang teman sekelasku yang kebetulan saat itu berjalan beriringan denganku.
            “Cepat telepone ke sekolah” ucapku terisak sambil memandangi jenazah itu.
            “Itu.. Dia.. Anak sekolah kita?” Kawanku itu langsung ikut menangis.
            “Cepat!!!” Perintahku.
            Ia langsung menghubungi sekolah. Aku sendiri sibuk memperhatikan korban itu, menangis tanpa henti, aku merapikan serpihan tubuhnya yang bercecer ke tengah jalan. Aku tak lagi peduli dengan keadaan sekitar, aku tak peduli orang melihatku.
            Tak lama kemudian, seorang guru datang sambil berlari tergesa-gesa. Menghampiriku lalu memelukku erat sekali.
            “Itu.. Dia Rafli” bibirku tak henti merintih.
            “Bersabarlah Andini”
            “Ibu, ini mimpi kan bu? Ibu bilang sama Andin kalau semuanya akan baik-baik, bilang bu sama Andin kalau Rafli bisa ujian bareng kita” aku berceracau tak karuan, seakan tak bisa menerima kenyataan.
            “Andini anak ibu yang baik, bagaimanapun kita harus menerima kenyataan. Ia akan tetap melihat kita berjuang dalam ujian itu, khususnya kamu Andini kamu mendapatkan ujian yang lebih banyak. Kamu harus lebih tabah”
            “Ibu, aku bingung aku harus bagaimana, dia itu separuh hidup aku”
            “Kamu tahu Andini, masa lalu itu selalu berada dibelakang, untuk ia berada dalam masa depanmu itu urusanmu, jika kamu hidup  dengan masa lalumu maka bukan berarti kamu bisa bahagia lalu menyeimbangkan dengan masa depanmu. Bisa jadi ia mengganggu masa depanmu itu”
            “Ibu ini tidak mudah”
            “Tapi tak sesulit yang kau bayangkan” Bu Ani terus menenangkanku “Kau harus berjalan ke depan” ia menarik nafas “Kau harus sanggup, tak boleh menyerah”
***
           
            Aku memandang pria ini lekat, matanya indah sekali tak pernah bisa terpejam saat melihatnya. Namun, aku tak tahu siapa gerangan pria itu. Hanya bisa menjadi penggemar rahasia hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.
            Hingga saat itu ia datang tepat di depan mataku, mataku tak bergeming menatap badge nama di dada sebelah kanannya, Rafli Irawan. Aku ingat, aku adalah orang yang pertama kali ditanya dimana ruang kelasnya. Aku bangkit dari dudukku, tersenyum padanya lalu kembali ke kelas.
            “Tahu ngga itu siapa?” tanyaku pada seorang teman,
            “Ohh, dia kan anak pindahan dari Pacitan” ia menjawab datar.
            “Aku juga tahu kalau dia anak pindahan, maksud aku namanya”
            “Ambil aja absen kelasnya, cari nama yang belum pernah kita tahu, nah berarti itu nama dia” temanku itu memberi usul.
            Aku mengangguk yakin, tanpa basa-basi aku ambil daftar nama siswa dikelas itu, kebetulan daftar absen memang tersedia bebas. Siapapun bisa mengambilnya, aku tersenyum mantap.
            “Ketemu namanya?” Arini temanku yang sedari tadi menemaniku ikut bertanta, penasaran.
            “Rafli Irawan” jawabku singkat.       
            ***
            Pagi ini aku berangkat terlalu siang, aku menggelengkan kepala.  Aku tak yakin bisa tiba disekolah tepat waktu. Aku menoleh ke arah kiri, aku hampir saja berteriak. Lalu aku memandang sahabatku, ia tepat duduk disebelah kiriku. Aku mencengkram tangannya erat.
            “Kenapa si Andin?” ucapnya kesal.
            “Itu, anak baru yang waktu itu aku ceritakan ke kamu” aku mencoba mengingatkannya tentang pria itu,
            “ohh, yang katanya dari Pacitan itu yaa?”
            Aku menatap Shafira lekat, mengangguk yakin.
            “Yakin mau sama dia?”
            “Yakin, udah jatuh cinta berat” aku menjawab sekenanya.
            “Aduh sepertinya susah An” ia menjawab ragu.
            “Kenapa?” aku ikut bersedih.
            “Yang pertama, dia itu ganteng banget ya walaupun badannya kecil gitu. Yang kedua, dia itu pintar. Kamu tahu, nilai matematikanya selalu sempurna. Yang ketiga, saingan kamu banyak, yang jatuh cinta sama dia juga banyak, jadi bersiaplah untuk patah hati”
            “Bisa kenal aja udah Alhamdulillah , Fir” aku tak kalah hebat menjawabnya. Sebenarnya ikut pesimis. Aku bukan siapa-siapa, aku tidak terkenal aku pun tak terlalu cantik. “Aku akan jadi yang  terakhir untuknya” kali ini aku menjawab mantap. Shafira hanya tertawa lebar.
            “Jangan kebanyakan mimpi, An” Ia mencoba memupuskan harapanku lagi.
            “My dream will be come true” Aku menjawab lebih yakin lagi. Ia menepuk pundakku.
***
            Entah bagaimana caranya, virus merah jambu itu terus berkembang, kini semakin parah. Setiap hari aku menunggunya didepan kelas, aku hapal betul dimana saat aku harus beradadidepan kelas, aku jadi hapal betul pukul berapa ia lewat didepan kelasku. Bahkan aku hapal bahwa itu dia hanya dari belakang,aku hapal betul suara langkah kakinya.
            “Sejak kapan jadi penjaga pintu, An” ledek Fino, teman sekelasku.
            “Sejak lihat Cowok itu” aku menunjuk ke arah Rafli.
            “Ohh Rafli”
            “Iya, kenal sama dia?” aku basa-basi.
            “Kenal,  dia juga minta nomor hp kamu”
            Aku tersenyum riang, hampir saja aku memeluk teman laki-lakiku itu, aku nyaris berteriak histeris, terlalu bahagia, setidaknya aku tahu bahwa bukan hanya aku yang menunggu, ia pun menunggu. Tapi, aku tetap tak boleh terlalu kegeeran, mungkin ia hanya ingin menjadikan aku partner kerjanya. Kami sama-sama suka menulis, aku menulis cerpen sedangkan ia menulis puisi.
Sejak saat itu aku berhubungan langsung dengan Rafli. Ia menjadikanku jauh lebih bahagia. Selalu ada nasihat dan motivasi yang ia berikan, ia tak pernah memprotes kelakuanku hanya saja ia sering terlihat sinis ketika aku melakukan kesalahan. Seperti saat rambutku jatuh terurai keluar dari jilbab ia memprotes “Katanya sayang sama aku, kok rambutnya keluar gitu,  kelihatan nanti si Zaddan nanti. Kamu itu kan Cuma buat aku” atau saat aku mengenakan baju yang pas dibadan ia langsung memberikan jaketnya yang sangat longgar ditubuhku itu, “kamu kedinginan kan, An? Pakai jaket aku aja yaa” padahal jelas sekali siang itu sangat terik, saat itu aku ingin menolaknya tapi ia memandangku dengan tatapan matanya. “kamu kan cuma buat aku” ia tersenyum menarik jilbabku. Selalu itu yang terucap saat merayuku, Kamu kan cuma buat aku, An.
Hingga tiba hari yang aku tunggu, saat ia menyatakan perasaannya dihadapan seluruh sahabatku, saat dengan romantisnya ia menatap tajam. Ia meyakinkan semua orang dengan apa yang dia ucapkan. Mata indahnya, senyum tulusnya dan lembut tutur katanya. Ahh, siapapun pasti terpesona dengan kharismanya.
            “Aku selalu bahagia ketika aku melihatmu, entah mengapa aku melihat diriku dalam pandangan tajam matamu, aku ingin selalu bersamamu. Hiduplah bersamaku, jadikan aku calon pendamping hidupmu kelak, selamanya” ia menatapku tajam, tersenyum pada seluruh sahabatku. Tatapan matanya meyakinkan semua yang ada disana.
Aku mengangguk yakin “Jadikan aku yang terakhir dalam hidupmu”
            “Pasti Andini, hanya kau yang tahu suara langkah kakiku, hanya kau yang tahu bahwa aku sedang tak sehat padahal aku masih sehat-sehat saja. Kau tahu apa yang tidak aku ucapkan. Aku akan menjadikanmu yang terakhir dalam hidupku, kau yang terbaik yang penah aku mililki, tak akan ada lagi yang lain, aku janji”
            “Orangtuamu?” aku meledeknya.
            “Semuanya akan menerimamu, mereka akan selalu menyayangimu. Kamu akan jadi perempuan yang paling disayang sama ibu dan ayah. Jadi kakak yang cantik untuk dua adik laki-lakiku. Aku janji, dalam waktu dekat aku akan mengenalkanmu pada kelurga besarku” aku tersipu malu.
                                                         ***
            Aku masih menangis dihadapan tubuh yang terbujur kaku itu, mengapa aku hanya diberi kesempatan yang sangat singkat, 16 hari 18jam 50menit 58detik? Mengapa harus aku yang merasakan semua ini. Mengapa aku yang bisa merasakan cinta yang begitu tulus tapi singkat ini? Kenapa harus sekarang, saat aku mencoba mewujudkan mimpiku bersama dia.
            Senyuman itu selalu teringat dikamar fikirku aku tak akan pernah melupakannya. Dia bukan yang pertama, dia juga bukan yang terindah bukan juga yang terbaik tapi ia mampu menjadikanku lebih indah, lebih baik dan lebih semangat. Ia motivator terhabat, ia selalu berkata “Jangan pernah menyerah sebelum mencoba, harus tetap jadi Andini yang aku  kenal, Andini yang hebat dan tak pernah menyerah” Aku selalu mengingat itu, selalu ingat saat ia menarik ujung rambutku yang keluar dari jilbab tipis ini “Kalau ingin menjalankan sesuatu itu jangan setengah-setengah. Nanti hasilnya ngga maksimal”. Aku selalu mengingat semua nasihatnya.
            Ia benar-benar menunaikan janjinya, hari ini aku mengenal ibunya. Aku tersenyum melihat ibuunya, bersalaman lalu ia memelukku.
            “Kamu Andini yaa?” Ibu menangis sambil memelukku.
            “Iya bu, maafkan Andin yaa bu kalau Andin punya salah”
            “Andin makasih Andin sudah membuat anak ibu menjadi lebih baik, hatinya lebih baik beberapa terakhir ini. Dia juga sempat bilang sama ibu, Ibu nanti ibu khitbahkan Andini buat kakak yaa bu, kenalkan Andini pada keluarga besar kita. Terus ibu tanya, emang Andini siapa? Dia jawab “Dia teman dekat kakak bu, anaknya cantik deh, baik banget. Ibu harus kenal sama dia. Besok juga ibu bisa ketemu dia. Nanti Andini jadi anak perempuan terbaik ibu. Ternyata benar hari ini ibu bisa ketemu sama Andin, benar apa yang dibilang sama Rafli. Andini  mau kan jadi anak perempuan ibu?” ibu menceritakan semuanya. Aku tersenyum, mengangguk.
            Hari itu aku tak mampu berkata apa-apa hanya mampu tersenyum melihatnya, bahkan saat teman-temanku menjerit aku tak sanggup mengatakan apapun, aku hanya mampu tersenyum lalu memeluk beberapa diantara meraka, untuk menghilangkan sakit yang menyiksa batin kabar yang tak teduga.
            “Kok lo bisa yaa ngga menangis?” ujar Dian. Teman sekelas Rafli.
            “Aku ngga tahu harus bagaimana?” aku menjawab seadanya, ia tersenyum melihatku.
            “Sumpah, gue ngga pernah menyangka An. Besok kita ujian , besok seharusnya dia memberikan contekan ke gue, tapi tiba-tiba semua berubah dari yang kita rencanakan. Gue akan sangat amat merindukan dia An” ia tersenyum getir, kembali menangis. Aku refleks memeluk tubuhnya.
            “Rafli lulus sebelum ujian, Di” aku mencoba menenangkan.
            “Ngga akan ada lagi yang kritik gue, ngga ada lagi yang bilang itu rambut mau ditutup apa mau dibotakin. Susah diaturnya deh
            “Padahal kemarin aku sengaja cari kamera, dia bilang aku mau dong difoto sama kamu sekali-kali. Ehh ternyata dia minta difoto untuk terakhir kali” aku menerawang jauh mengingat semuanya.
            “Terakhir dia sempat bilang, Di gue sayang sesayang sayangnya sama Andini, bisa ngga ya dia jadi yang terakhir buat gue. Sumpah Di gue ngga akan rela kalau Andini menjalani sama yang lain apalagi lelaki itu ngga tulus, ngga benar-benar sayang. Bagaimanapun gue Cuma mau dia buat gue” Dian memelukku semakin erat.
            “Semalam aku mimpi, dia datang ke mimpi aku. Dia cium kening aku terus dia belai rambut aku, dia bilang dia sayang sama aku terus pergi. Padahal kan dia ngga pernah mau kayak gitu, pegang tangan aja ngga”
            “Sumpah gue ngga kuat Andini” Dian semakin terisak.
            “Harus kuat, kita harus lulus kita buat Rafli bangga” Aku membangkitkan semangatnya. Aku melepas pelukan itu, menghampiri tubuh yang telah dibersihkan, telah dikafani aku mendekatkan wajahku ke telinganya. Terimakasih telah menyempurnakan hatiku, relakan aku menjalani hidup sesuai yang Tuhan gariskan. Bukan aku tak mencintaimu, tapi aku terlalu rapuh untuk terus mengenang kejadian ini. Terimakasih untuk 16hari 18jam 50menitnya. Terimakasih untuk kesempatan indah itu, terimakasih sudah membimbingku kembali membuka hati. Tenang yaa disana.
            Hari-hari kemudian aku dihadapkan pada penantian panjang, kesebaran luar biasa dan keikhlasan tiada terkira. Terimakasih kau menguatkan hatiku. Kau menjadikan beberapa hari ini begitu membahagiakan. Waktu yang singkat ini ternyata mampu membuatku menjadi lebih indah. Malam seakan tenggelam bersama sinar bintang. Terimakasih cinta.
***
           
           Deevika
Bekasi, 18 Desember 2010,  18:55 WIB
           

Minggu, 12 Mei 2013

Rahasia Pelangi


Tak terkira milikimu adalah hal terindah yang pernah ku dambakan.
Tak terkira dekapanmu adalah hal terindah yang pernah kudapatkan.
Takkan rela melepasmu walau dihadapanmu ku akan terus menangis... Bahagia.
*seventeen-hal  terindah

            Lagu itu terus mengalun bersama kebahagiaan tak terkira ini. Kebahagiaan tak terduga, kebahagiaan yang sempat tertunda dan kebahagiaan yang sempat sia-sia begitu saja. Namun kini kehadirannya memberikan warna baru yang jauh membahagiakan dalam hal apapun. Aku tak akan pernah pergi.
            Kebahagiaan itu tak pernah merangkak untuk pergi tapi ia akan berlari ketika menghampiri. Ia tak perlu dikejar namun biarkan ia datang dengan sendirinya. Sama ketika untuk kesempatan terbaik ini aku mengenalimu kembali. Kamu yang sempat hilang tanpa kabar. Bertahun-tahun namun hatiku takkan pernah berubah walaupun kamu tak lagi mengenalku. Kesempatan baik itu selalu datang pada mereka yang selalu berusaha tak pernah lelah mencoba mamperbaiki semua yang kelam.
            Hingga saat itu tiba, saat Tuhan dengan kasih dan sayang-Nya mengulurkan tangan-Nya dengan cara yang begitu indah. Dengan cara yang tak terduga dengan hati yang tak lagi terlalu berharap. Banyak kata yang tak mampu terungkap.

“JANI” teriak seseorang memanggil namaku, namun aku tak melihat siapapun dipesta ini. Aku masih mencari. Tak lama seseorang melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum lebar. Ia perempuan baik hati, Arini.
“ Arini. Kangen banget sama kamu. Udah lama banget ya kita nggak ketemu” jawabku sambil memeluk erat tubuhnya.
Ia tampak berfikir, mungkin mengingat-ingat sesuatu. “ 7 tahun , Jani. Selama itu kita nggak ketemu. Akhirnya kita ketemu ditempat ini. Benar-benar tak terduga” jawabnya dengan mata berbinar-binar.
“Really miss you. Really miss your brother” jawabku sekenanya.
“Masih aja deh kamu ,Jani” ia terkekeh geli.
“Namanya juga cinta” aku cengar-cengir sendiri.
“Masih berharap?” kali ini wajah Arini berubah serius.
Aku mengangguk yakin, selama ini aku memang hanya menanti sosoknya. Sosok yang bisa melindungiku tanpa harus aku memintanya. Ia tak pernah lenyap dari doaku dalam setiap sujudku dalam setiap derai air mataku, dalam setiap langkah perjuanganku dirinya adalah motivasiku. Walaupun aku tahu semua takkan pernah seindah mimpi dan imajinasiku. Namun, aku tetap berusaha menjadikan diriku yang terbaik. Aku tak peduli sesakit apapun masa lalu itu. Ia hanyalah bagian dari mimpi , imajinasi dan mungkin –masa depanku-.
Ia satu-satunya lelaki yang mampu membuatku terus mempertahankan namanya dalam jutaan detik yang terlewat. Dalam ribuan kilo jalan yang ku tempuh, hanya ada dia. Walaupun aku pernah menjalin hubungan dengan seseorang hanyalah dirinya yang bersemayam dijiwa ini.
“Dia udah nikah? “ aku bertanya ragu-ragu.
“Belum sayang, dia belum nikah. Mau daftar?” jawabnya terkekeh geli.
Aku hanya tersipu. “Daftarnya kemana ya?” aku balik meledeknya.
“Ke aku boleh kok ,Jan.” Arini menjawab serius.
“Nanti kita bicarakan lagi ya. Lagipula kakakmu itu belum tentu mau denganku” Aku menjawab apa adanya. “Lagipula aku masih mau mikir-mikir dulu ya”
“Masih teringat peristiwa 5 tahun yang lalu ya?” Ia bertanya dengan sangat hati-hati.
Sejujurnya memang aku merasa seperti itu. Rasa dimana aku tak pernah tau mengapa tak pernah ada kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Saat aku sendiri tak pernah tahu tentang apa itu cinta, tentang betapa perihnya ditinggalkan mereka yang kita cintai. Aku hanya punya emosi, dimana aku tak pernah bisa tanpa bayangnya. Namun , kini aku begitu memahami rasa ini bukan hanya emosi. Jika ini hanyalah emosi seharusnya rasa ini telah hilang bersama menghilangnya dirinya.
            “Maaf yaa” Ia terbata-bata mengucap kata itu. Aku hanya menggeleng ringan.
“Itu hanya masa lalu, Arini. Tak ada yang perlu dimaafkan, karena memang tak ada yang salah. Hanya kesempatan yang belum berpihak atau mungkin malah enggan menghampiri” Aku menelan ludah, sedikit sesak mengungkapkan apa yang sebenarnya tak pernah ingin dibahas lagi. “Arini, bagaimana pun caranya, sesulit apapun jalannya jika aku dan kakakmu berjodoh maka Tuhan akan memberikan aku padanya, mempersatukan aku dengannya. Namun, jika aku bukan jodohnya sekuat apapun rasa ini, sejauh apapun aku mempertahankannya aku tak pernah mungkin bersatu. Kamu harus paham, Arini. Jodoh itu tak semudah yang dibayangkan” Aku menghela nafas panjang memeluk tubuh hangatnya.
Setelah berjalan menjauh, menghindari percakapan yang mungkin akan merobek hati yang pernah hancur, kemudian dengan perjuangan panjang aku berhasil menatanya kembali. Sebaik atau seburuk apapun masa lalu ia akan kalah dengan masa depan. Masa lalu tak akan pernah bisa diperbaiki, berbeda dengan masa depan yang masih bisa direncanakan , diperbaiki bahkan diubah.
“Arin , aku pulang duluan yaa” Aku berpamitan pada Arini.
            “Hati-hati ya” ucapnya riang. “Main ke rumah, kita selalu menunggu kamu” lanjutnya sambil memelukku.
            Aku membisu mensyukuri apa yang terjadi hari ini, setelah sekian lama tak pernah ada cerita, hari ini dengan keindahan yang Tuhan berikan aku kembali bertemu dengannya. Memang bukan dengannya secara langsung, melalui perantaraan. Namun inilah yang disebut kuasa Tuhan, dengan cara yang indah Tuhan kembali mempertemukan aku dengannya.


“Kau tahu? Berapa detik aku menunggumu? Menunggumu tanpa kepastian dan penjelasan?” aku meracau tak karuan. Kesal karena aku dibilang tidak setia. Ia hanya terdiam lalu memelukku erat, erat sekali hingga aku sulit bernafas.
            “Harusnya dulu aku tak pernah meninggalkanmu, walau hanya sejengkal dalam hidup ini. Kau terlalu indah untuk dilepaskan. Berjanjilah untuk terus bersamaku, aku janji aku akan menjadi yang terbaik untukmu, aku akan menebus waktu yang pernah tersita untuk menungguku, untuk hati yang tak pernah berpaling, untuk hatimu yang tak pernah lelah menungguku, untuk hati yang selalu ikhlas mendoakanku. Untuk hati yang rela terluka untuk bahagia. Aku mencintaimu mulai hari ini dan seterusnya” ia menjawab panjang sambil mencium keningku.
            “Aku selalu ada untukmu, aku selalu menyertakanu dalam setiap doa yang tak pernah putus. Dalam bahagia yang tak pernah terkira, aku selalu mendoakanmu bahagia. Walaupun aku amat tersiksa hanya dapat hidup bersama mimpi tentangmu, tentang angan yang tak pernah sampai. Tapi aku selalu berdoa, aku ingin bertemu denganmu lagi sebelum ajal menjemputku. Kau adalah kekuatan saat aku sendiri meragukan kekuatan itu. Hanya membayangkan dirimu, aku mampu bertahan sampai saat ini” aku menarik nafas panjang “Aku selalu tahu kabar tentangmu, bahkan aku tahu saat kau merasa sakit, aku tahu itu. Aku juga merasakannya, jauh sebelum kita tak pernah berjumpa 5tahun lamanya aku selalu meminta agar Tuhan menitipkan hatimu padaku agar aku tahu kapan aku harus kembali lagi padamu, mungkin kali ini terlambat. Aku terlalu lama berfikir”
            “Harusnya aku kembali kepadamu dengan hati yang masih utuh. Tidak hancur seperti ini”
            “Aku tak pernah meminta hatimu utuh untukku, aku hanya ingin hidup bersamamu. Hari ini dan seterusnya. Walaupun kita tidak berjodoh, aku ikhlas. Beri aku waktu untuk menebus kebahagiaan yang tersita” aku memeluknya erat.
***
Tepat 5 tahun  lalu, Juli 2007. Aku terdiam menatap sebuah foto dalam genggaman tangan salah seorang kawan, entah mengapa aku begitu terpesona dengan foto itu. Ya, foto seorang lelaki yang aku sendri belum tahu identitasnya.
            “Apa Jani?” ledek temanku yang mememgang foto itu.
            “Itu siapa?” Tanyaku malu-malu.
            “Itu sepupu aku” Jawabnya lembut.
            “Lucu ya” aku berkomentar kagum.
            “Nanti aku kenalkan” ia berjanji sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum riang. Hatiku berbunga-bunga menunggu pertemuan singkat itu walaupun aku tak tahu bagaimanakah orang itu tapi jantungku terus berdetak cepat dan terus meningkat kecepatannya.
            Karena aku mencintaimu dan hatiku hanya untukmu
            Ponselku berdering tanda ada panggilan masuk. Aku tak mengenal nomor itu, aku abaikan saja panggilan itu. Tapi ponselku terus berdering. Tiba-tiba ada tanda sms masuk.
 1 messeage. Received
Gilang
Jani, itu tadi yang telp lo sepupu gue.
Kenapa ngga diangkat?

            Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, tersenyum sendiri. Langsung saja aku balas pesan itu tanpa harus berfikir berulang kali, rasa ini berbeda pasti ini yang disebut cinta. Ohh My God.
            Sent .
            Gilang
            Maaf gue ngga tahu, nanti gue sms deh ya. Thx

            Belum sempat aku mengirim pesan pada sepupu Gilang , ia sudah terlebih dahulu mengirimkan pesan kepadaku. Ia mengenalkan dirinya, bertanya kabarku, menceritakan sahabatnya, aktivitasnya disekolah, ia menceritakan semuanya. Ia bertanya tentang aktivitasku, prestasi akademikku, kesibukkanku antara sekolah – rumah sakit – tempat kursus. Aku pun menceritakan semuanya.
            Pertemuan singkat itu akhirnya terjadi, tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Indah! Sangat indah. Andai bisa aku lukiskan mungkin jutaan bintang sudah menari di atas kepalaku mungkin pelangi pun enggan pergi dari kamar fikirku. Terus bersemayam hingga batas waktu yang tak akan pernah berakhir.
            Kami saling pandang, saling mencuri pandang malu-malu untuk saling melihat. Getaran itu semakin kuat. Aku mencoba memejamkan mata, mengartikan rasa apa dihati ini.
            “Pasti Gilang cerita yang aneh-aneh deh sama Kak Chino” aku berceloteh manja.
            “Ya gitu deh” ia menjawab singkat. Meledek
            “Ah.. Kak Chino ngga asik” aku mengeluh sebal.
            “Kamu ngga seperti yang Gilang katakan. Kata Gilang kamu itu pendiam tapi ternyata berisik ya kalau sudah kenal” ia mencubit pipiku.
            “Waktu merubah segala hal ka, waktu menjadikan kita menua tapi tidak menjadikan aku lebih bijaksana”
            “Kakak ngga tahu kenapa kakak bisa bahagia banget kalau dekat kamu. Kakak nyaman, kakak bisa tertawa lepas bahkan setelah kakak sampai dirumah kakak hanya memikirkan kamu” ia mengucapkannya serius kalimatnya itu matanya seoalah ikut berbicara. “Aku mencintaimu”
            “Aku selalu bahagia bersama orang yang menyayangiku” aku hanya membatin. Menatap lekat wajahnya, aku tak mau ia pergi walau hanya sejengkal. “Aku masih terlalu kecil untuk mengerti tentang cinta ka”
            “Kita akan mengerti setelah kita menjalaninya bersama” ia memaksa.
            “Belum waktunya kak Chino, terlalu cepat. Aku baru 13 dan kakak 17. Belum waktunya untukku, ini saatnya aku mengejar mimpi-mimpi yang belum tuntas” aku mempertahankan jawabanku.
            Sejak saat itu ia tak lagi menghubungiku, tak ada lagi kabar tentangnya. Ia bagai ditelan bumi menghilang tanpa jejak. Aku beruntung aku mengenal adiknya, Arini. Kami masih terus berkomunikasi, tapi hanya berjalan begitu cepat. 2 bulan kemudian ia ikut menghilang. Hatiku makin membeku, tak pernah lagi aku merasakan getaran itu. Semua terasa begitu datar.
            Aku terus menunggunya, tahun pertama luka itu tersimpan jelas. Aku terus berdoa, aku hanya ingin bertemu dengannya, lalu aku bilang bahwa aku mencintainya, sudah itu saja. Tapi tahun pertama tak berjalan mulus, tahun itu aku hanya meminta agar aku dipertemukan dengannya kembali. Namun aku tak bertemu dengannya.
            Tahun kedua tak jauh berbeda dengan tahun pertama, kali ini aku lebih ikhlas. Aku mencoba tak memaksakan takdir, biar ia berjalan sebagaimana semestinya. Tahun ini aku berhasil bertemu dengannya, sayangnya hanya dijalan dengan kondisi ia sedang terburu-buru jadi ya mana sempat untuk mengatakan semua yang aku rencanakan. Tahun ini doaku bertambah, aku ingin ia terus bahagia. Aku mendoakan seluruh kebahagiaannya, mendoakan ia bahagia dengan pasangannya. Ia bahagia selama beberapa tahun, badannya sedikit berisi. Aku tersenyum bahagia. Tuhan mengabulkan doaku.
            Tahun ketiga, aku lebih ikhlas. Mungkin Tuhan belum mengizinkan kebahagiaan untuk aku bisa bersamanya. Tahun ini aku mencoba membuka hati, hati yang baru. Aku belajar untuk mencintai lagi, mencintai orang yang berbeda. Dengan ciri fisik yang serupa, dengan sikap dan sifat yang begitu mirip. Aku mencoba membahagiakan diriku setelah sekian lama aku mendoakan kebahagiaan untuk orang yang tak jelas rimbanya.
            Pria itu biasa dipanggil Awan, ia bersahaja, berkharisma, kecil mungil dan lucu sekali. Ia salah satu kebanggaan sekolah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia bisa memilihku untuk dicintai. Ia begitu energic dan aktif. Ia motivator tehebat dalam hidupku, ia selalu bisa menyejukkan hatiku.
            Hingga suatu hari dipenghujung tahun 2010, aku tak pernah bermimpi apapun. Aku hanya merasakan intensitas kebahagiaan tak terkira. 16 hari 18 jam 50 menit aku terus berada disampingnya, mendampinginya kemanapun selagi aku bisa.
            “Jaaaannnnnnnnniiiiii” seorang terman berteriak disertai isak tangis, setengah berlari memelukku.
            “Ada apa, April?” aku mencoba tenang. Ia hanya menangis dibahuku tak mengucap sepatah kata pun, membisu dalam tangisan.
            RECEIVED
            Gladis
            Jan. Awan udah dtg?


            Hatiku semakin tak karuan, mengapa hari ini semua seakan berbeda, tatapan itu tangisan itu. Semuanya dan semuanya, semua temanku berlomba-lomba berlari. Aku semakin bingung, tangisan April semakin menjadi. Aku bingung sejak tadi ia aku tanyai tak menjawab apapun, tiba-tiba seluruh sekolah menjadi panik. Hari itu hari panik disekolahku.

            SENT
            Gladis
            Belum, kenapa?

            RECEIVED
            Gladis
            Awan kecelakaan di dekat sekolah, anak-anak pada kesana. Doakan yang terbaik untuknya.

            Darahku seakan berhenti mengalir, tubuhku ikut melemah. Aku balik memeluk erat April. “Jujur aja, Pril” aku bertanya untuk kesekian kalinya bibirku bergetar, ikut menahan tangis. Ia tetap tak bergeming. Teman-temanku membuat keputusan sepihak, mereka mengunciku didalam kelas aku tak boleh ikut bersama mereka.
            “Nanti gue kabari” teriak Ari dari jauh.
            “Tetap berdoa, tabah ya, ikhlas” Ucap Zaid.
            Teman yang lain tak henti membaca pesan yang tak pernah diberitahu kepadaku apa isinya. Aku hanya berdoa. Mereka sudah mengetahui keadaan Awan, tapi mereka tak memberitahukannya kepadaku.
            RECEIVED
            Gladis
            Jani, yang sabar yaa Sayang.
            Awan udah dipanggil sama yang Maha Kuasa.
            Ikhlaskan ya sayang, lo pasti bisa.
            Lo kan hebat yaa :D
            Keep fight ya

            Aku terjatuh dalam pelukan sahabatku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku memaksa seluruh temanku untuk menemaniku menemuinya untuk yang terakhir. Aku masih tak percaya, aku menghubungi temanku berada di tempat kejadian. Bohong  itu, Awan baik-baik aja. Ucap salah satu teman yang berada disana.
            Hatiku semakin tak karuan, penasaran dengan apa yang terjadi. Hari itu, hari terburuk sepanjang hidup baruku, sepanjang penantianku yang tak berujung, sepanjang aku berjuang membuka hati, hasilnya seperti ini. Hatiku jauh lebih hancur, lebih jatuh. Remuk redam.
            Pada akhirnya aku sendiri untuk menemui Awan untuk terakhir kali. Aku lihat jasadnya yang tak lagi sempurna. Terimakasih telah menyempurnakan hatiku, relakan aku menjalani hidup sesuai yang Tuhan gariskan. Bukan aku tak mencintaimu, tapi aku terlalu rapuh untuk terus mengenang kejadian ini. Terimakasih untuk 16hari 18jam 50menitnya. Terimaksih untuk kesempatan indah itu, terimakasih sudah membimbingku kembali membuka hati. Tenang yaa disana. Aku berbisik pelan ditelinganya, sakit rasanya harus kembali kehilangan. Walaupun ia tak lagi mendengar semoga ia selalu hidup dengan kedamaian.
            Hatiku kembali dibuat hancur tak karuan dengan kejadian itu, bagai mimpi. Aku masih sangat tidak percaya. Mengapa takdir cintaku harus sesulit ini. Mengapa hatiku harus hancur berkeping-keping dahulu, mengapa aku tak langsung mendapatkan cinta itu? Mengapa? Mengapa Tuhan? Apa salahku hingga Kau menghukumku dengan cara seperti ini?
Waktu terus berjalan, tahun keempat aku disibukkan dengan kesedihanku, sibuk menutup luka yang terbuka begitu hebat. Kehilangan luar biasa tapi harapan itu masih ada. Aku masih berharap bertemu kembali dengan Kak Chino. Tuhan, sekali saja. Sekali saja Tuhan, aku hanya ingin mengatakan kepadanya bahwa aku benar-benar menyimpan segala kenangan tentangnya. Aku tak pernah lupa, Tuhan. Tuhan, sekali saja aku ingin mendengar desah nafasnya.
                                                                        ***
            “Masih aja berharap sama Chino, Jan?”  wanita paruh baya  itu bertanya serius “Chino akan menikah tahun ini, sebaiknya kau buang harapan itu” ia melanjutkan kalimatnya. Sinis.
            “Aku akan mendoakan segala kebaikan untuknya” senyum getir itu tersungging dari bibirku. “Kebahagiaannya adalah jalan membuatku bahagia, aku akan bahagia. Doaku tak pernah terhenti untuknya” aku menarik nafas panjang.
            “Dia akan menikah tahun ini” Arini tiba-tiba datang kemudian mengucapkan kalimat itu.
            Air mataku tak sanggup untuk ditahan “Tahun ini? Dengan siapa?”
            “Dengan wanita yang rela menunggunya bertahun-tahun, wanita itu yang tak pernah meninggalkan Kak Chino walau sedetikpun, tak pernah membuat kak Chino bersedih” Arini menjawab serius.
            “Katakan padanya, aku tak akan pernah berhenti mendoakannya. Semoga berbahagia selalu, salam untuk ayah dan Kak Citra juga. Aku selalu merindukan kehangatan dari keluargamu. Pastinya aku juga akan semakin merindukanmu Arini” aku langsung berlari bahkan aku tak sempat pamit. Semua begitu terasa menyesakkan dada, seperti terhimpit ditengah bebatuan. Sesak sekali.
            Dada ini terasa sempit, sesakit itu cinta yang selama ini aku nantikan? Sesakit iini balasan untuk kesetiaanku menunggunya? Tuhan, bahagiakan dirinya selalu. Aku lantas berlari menjauh, menjauh dari hidupnya, melupakan semua mimpi dan imajinasi yang sempat  tersimpan. Memang kini waktunya membuang semua itu jauh-jauh.
            Tiba-tiba wanita paruh baya itu mengejarku, berteriak memanggil-manggilku. Aku tetap melanjutkan berlari dengan hati yang tak lagi utuh, sebagian dibawanya lari. Intensitas kebahagiaan luar biasa saat bertemu dengannya harus berakhir seperti ini.
Wanita itu berhasil mangejarku menenggelamkanku dalam pelukannya “Kau bilang kau akan mendoakannya bahagia? Mengapa kau malah menangis mendengar kabar itu, Jani? Kau harus ikhlas ya”.
“Ayah, ibu, ka Citra, dan Arini juga akan selalu mendoakan kebahagiaan untukmu, Jani, ibu akan menyampaikan semuanya pada Chino” ia mengghentikan kalimatnya
Ayah tiba-tiba hadir ditengah keharuan itu, ia menatapku tajam “Anjani, selama kau tulus mencintai seseorang, kau pun berhak untuk mendapatkan ketulusan itu”
Ka Citra ikut berlari memelukku, bersama suami dan anaknya ia menghampiriku, membuat suasana semakin mengharu biru. “Chino hanya ingin menikah dengan wanita yang rela menunggunya bertahun-tahun dalam penantian panjang, dalam kesempatan yang tak pernah hadir dan dalam doa yang tak pernah putus”
“Bukankah kau sendiri yang selalu berkata bahwa hakikat cinta sejati itu melepaskan?” Chino tiba-tiba mengejutkanku dengan kata-katanya, terdengar sinis.
Aku hanya menundukkan kepala, menangis sepuasnya tak peduli lagi ada siapa pun dihadapanku.
“Bukankah kau sendiri yang mengatakan, jika kau mencintai seseorang lepaskanlah ia. Jika kau benar-benar ingin bersamanya ambillah dengan cara yang baik” Chino menatapku tajam. “Bahkan kau sendiri yang seringkali mengatakan kepadaku, bukankah jodoh itu rahasia? Ia akan menghampirimu dengan cara yang tak pernah terduga”
“Lepaskan, ikhlaskan dan tunggu keajaiban itu“ kali ini ibu membuat hatiku semakin tak karuan.
“Aku hanya akan menikah dengan wanita yang bisa menerima kekuranganku, yang dapat menemaniku dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, wanita yang menangis bersamaku bukan menangis karenaku atau aku menangis karenanya, yang rela menungguku tanpa kepastian kapan aku ada untuknya. Wanita yang selalu mencintaiku dan keluargaku”
Aku mengangkat kepalaku, menatap tajam pada mereka yang sejak tadi terkesan menghakimiku “Jodoh itu memang rahasia dan aku sudah ikhlas apapun keputusan kalian. Aku menunggumu karena aku tahu kau adalah orang yang selalu pantas untuk aku tunggu, bukan karena waktu itu kau berada diatas kesuksesanmu”
“Kau datang saat aku tak bisa mengendalikan hatiku, saat hidupku disibukkan dalam kekecewaan masa lalu itu. Kemudian kau hadir memberikan semua itu, kau yang kembali memberiku warna cerah saat hatiku abu-abu. Kau yang selalu menemaniku dalam masa-masa sulit itu, kita menangis bersama. Bahkan kau yang mampu mengubah hatiku ketika pertemuan pertama untuk kedua kalinya. Pada hari itu aku tanpa ragu memutuskan, kaulah yang selama ini aku tunggu” Chino menatapku nanar. Mereka tersenyum ke arahku.
“Tahun ini, Chino sudah memutuskan. Ia akan menikahimu, Jani” Mereka serempak mengucapkan kalimat itu. Hatiku berdesir hebat Ini pasti mimpi.
Aku terkejut dengan ucapan itu, “Ibu?” lidahku kelu, tubuhku bergetar hebat.
“Ibu serius Jani”
Air mata itu tumpah semakin hebat, kesabaran dan keikhlasan itu berbanding lurus. Aku memeluk mereka erat-erat. Seerat saat aku bertahan dan berjuang mempertahankan cinta ini. Mereka semua memelukkku menangis bersama, tangisan bahagia.


SELESAI
           
           
           

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...