Aku
melempar gelas itu tepat mengenai cermin di kamarku. “Praaaaaaaaaaaaang” semua
pecah berantakan. Aku tak peduli lagi apa yang sedang mereka bicarakan aku hanya ingin menyendiri
disini. Berusaha melepaskan semua amarah dan kecewa, ingin rasanya aku
berlari dari kenyataan. Tak peduli berapapun jauhnya aku hanya ingin
bahagia.
Mereka
terus mengetuk pintu kamarku, ku tutup telinga sekuat mungkin. Aku sudah
terpaku diujung kamar ini sambil memeluk lutut menahan tangis sebisa mungkin. Aku harus kuat. Mereka yang selama ini
menguatkanku tiba-tiba berubah layaknya serigala dengan cepat dapat membunuh
siapa saja. Kali ini, mereka membunuh mimpiku, membunuh masa depanku dan
membunuh kekuatanku.
Ruangan
ini adalah saksi perjuanganku, aku tak pernah berhenti menggali semua hal yang
membuatku bahagia.Seakan tak ada lagi harapan yang mampu membangkitkan
semangatku. Aku mencoba berlari, jauh dari kenyataan tapi kenyataan semakin
mendekat, menyadarkanku bahwa semua yang terjadi tak bisa kuulangi lagi. Dadaku
terasa sesak terlalu sempit untuk terus berada disini.
“Kemana
Amelia?” wanita aneh itu bertanya padaku.
Aku
tak peduli, ia yang menghancurkan semuanya. Wanita yang tiba-tiba hadir ditengah kebahagiaan keluarga kami. Aku hanya mendengus sebal
dihadapannya. Jujur saja rasanya aku ingin menikammya dengan apapun seperti ia
mematikan masa depanku.”Jangan ikut campur yang bukan urusan anda, Nyonya”
akhirnya aku membuka mulut, terpaksa. Ayah sudah menatapku tajam.
“Amelia,
tolong jangan bersikap seperti itu terus” kali ini ayah memohon kepadaku.
“Amel
akan tetap seperti yang ayah tahu dihadapan ayah, tapi tidak dihadapan wanita itu” aku menjawab tak karuan.
“Amel,
sejak kapan kamu berbicara seperti itu?” ayah tampak terkejut.
“Sejak perempuan itu ada disini dan menggantikan posisi ibu” aku langsung berlari pergi.tak lagi aku pedulikan ceracau ayah yang semakin tak karuan.
“Sejak perempuan itu ada disini dan menggantikan posisi ibu” aku langsung berlari pergi.tak lagi aku pedulikan ceracau ayah yang semakin tak karuan.
Semua ini berlalu begitu cepat, tanpa
jeda. Bahkan aku tak bisa melupakan semuanya begitu saja. Menyakitkan. Lebih
baik aku melihat lelaki itu mati daripada ibu yang menderita. Aku saksi hidup
dalam masalah ini, aku narasumbernya. Aku yang pertama kali melihat kejadian
menjijijkan itu.
“Kau
tahu om apa yang menyakitkan hati hingga hati itu mati?” kira-kira begitu aku
memanggil laki-laki yang biasa aku panggil ayah.
“Amelia, tahukah kau hal apa yang
menyakitkan untuk orang tua? Tahukah kau Amel, bagaimanapun diriku, kau
tetaplah anakku” ia menjawab santai.
“Tak ada hal menyakitkan untuk
lelaki sepertimu, semua itu tak sebanding atas apa yang kau lakukan padaku dan
keluarga ini. Jiwaku sudah terlalu lelah untuk menghormati lelaki yang tak bisa
menjaga hati dan dirinya untuk keluarga”
“Semuanya tak seperti yang kau
bayangkan, Amel. Percayalah pada ayah”
“Tapi semuanya seperti yang aku
lihat”
“Kau
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi”
“Dan
kau tidak tahu apa yang terjadi pada ibu”
“Ayah
tak pernah meninggalkan ibu, nak” intonasinya melemah.
“Tapi
kau tetap bertahan dengan perempuan itu” aku menjawab kasar.
“Ibumu
yang meminta”
“Karena kesabarannya telah habis dan
kau -berselingkuh-“ aku lebih hati-hati dengan ucapan itu.
Hempaskan semua lelah yang tak
pernah berhenti menghampiri tubuh ini, takkan pernah rela ada jiwa yang selalu
tersakiti, sekecil apapun itu dendam tak pernah usai. Jika kali ini ada
kesempatan untuk mengakhiri tanpa ada kebahagiaan di masa depan, lebih baik
mengakhiri semuanya. Tapi tak semudah itu, dendam tak akan merubah yang mati menjadi hidup kembali.
Hidup itu bukan sekedar bahagia, luka,
tertawa atau menangis.
Tapi lebih menitikberatkan pada kekuatan hati. Saat ditikam tanpa arah lalu menyisakkan luka. Bukan pula sekedar perjuangan mencabut duri dari kaki, tapi hidup tentang bagaimana mempertahankan harga diri. Terlalu munafik jika aku bisa hidup dengan kebencian yang begitu mendalam, padahal dalam lubuk hatiku aku merindukannya.
Tapi lebih menitikberatkan pada kekuatan hati. Saat ditikam tanpa arah lalu menyisakkan luka. Bukan pula sekedar perjuangan mencabut duri dari kaki, tapi hidup tentang bagaimana mempertahankan harga diri. Terlalu munafik jika aku bisa hidup dengan kebencian yang begitu mendalam, padahal dalam lubuk hatiku aku merindukannya.
“Sejauh apapun ia pergi, ia tetap
ayahmu” ibu berbisik pelan “kau harus bisa memaafkannya” ibu melanjutkan
kata-katanya.
“Apakah ibu tidak sakit hati diperlakukan
seperti ini?”
Ibu tersenyum “Selalu ada balasan
untuk orang-orang yang bersabar, Amelia. Kamu harus tahu itu”
“Amel terlalu sakit, bu”
“Ia tetap ayahmu, ia tetap walimu
ketika kamu menikah” kali ini ibu benar-benar berhasil membujukkku untuk memafkan
lelaki itu. “Tinggalah dengan ayahmu” ibu memohon.
“Aku mau sama ibu”
“Bersabarlah, ibu akan menjemputmu” ibu
mencoba merayuku. “Tak akan lama Amelia”
“Janji ibu akan kembali?” ibu
mengangguk berat.
”Amel akan selalu merindukan ibu”
Sejak
saat itu aku tak pernah bertemu dengan ibu, walaupun hanya dalam mimpi-mimpi
itu. Ia terlalu tegar untuk menghadapi semua ini bersamaku. Bahkan ia tak
pernah lagi bertanya bagaimana kabarku. Ia seakan sengaja pergi dan menghindar
dari semuanya, termasuk menghindar dariku.
Aku
lebih memilih untuk melanjutkan hidupku sendiri, mencari jati diri dan belajar
menerima, aku memperhatikan setiap detik perkembangan mereka. Aku selalu tahu
bagaimana kabar baik dan buruk ayah dan wanita itu serta anaknya yang lucu.
Tapi aku tak pernah tahu bagaimana nasib ibu, tak ada satu pun keluarga yang
memberitahuku.
“Kau
tahu, Al. Semua terlalu cepat berlalu, bahkan saat aku belum sempat untuk
berfikir. Saat aku bimbang dengan hatiku sendiri” aku mencoba menahan tangis,
menarik nafas panjang, seakan aku sudah
bosan dengan hidup ini.
“Termasuk
mengapa kamu begitu membenci semua lelaki?” ia bertanya sinis.
“Tapi
aku tak membencimu, Al” aku mendekatinya, mencium aroma tubuhnya. Mungkin ini yang terakhir. “Selalu ada
maaf untuk orang-orang baik, selalu ada balasan untuk orang yang bersabar.
Terimakasih karena kau mau terus bersabar”
“Karena
aku tahu betapa sakitnya hatimu, aku bertahan agar kita saling menguatkan” ia
tersenyum getir. “Terimakasih karena kau tak pernah membenciku, Mel” ia melanjutkan
kalimatnya.
“Terimakasih
sudah mau terus membantuku” aku memeluknya lembut.
“Kau
tidak ingin melihat adikmu itu?” ia hati-hati mengucapkan kalimat itu.
“Aku
masih belum bisa terima, Al” aku menahan tangisan itu “Masih terlalu sakit, aku
masih belum bisa hidup dengan lebih realistis tapi aku belum mampu”
“Kau
harus mampu Amelia. Aku akan terus menemanimu” ia menarik nafas “Kau harus bisa
menerima takdir ini, Amelia. Semua ini cobaan agar kau lebih kuat”
“Namanya
Aqila, sekarang usianya 4. Lucu dan menggemaskan” aku tersenyum getir “Ia mirip
denganku, aku hanya berani melihatnya dari jauh. Aku tak berani mendekat. Aku
takut, terlalu sakit melihatnya, Al. Aku melihat ayah menggendongnya,
memeluknya dan menatapnya penuh kasih, sama seperti dulu ia memelukku. Ada
kenangan yang tersisa dirumah itu, masih terlalu sakit untuk mengenangnya”
“Ayahmu
merindukanmu, Mel” ia menatapku iba.
“Aku
juga merindukan ayah, tapi aku terlalu sakit untuk menahan rasa kecewa itu”
“Sudah
hampir 7tahun Amelia, harusnya kau bisa memaafkan”
“Hatiku
sudah memaafkan tapi fisikku belum mampu melangkah kesana”
“Melangkahlah
kesana, temui ayahmu”
Air
mataku tak lagi sanggup aku bendung, tanggul itu seakan jebol. Aku menangis
menahan rindu yang terlalu dalam, rindu yang tak terbalas, rindu yang menghujam
bertahan beribu detik lamanya, jiwaku terlalu kecil untuk memaafkan. Aku
terlalu kerdil untuk menerima kenyataan. Aku tak bisa menahan egoku, padahal
rindu itu terus membatu.
***
Cirebon, 28 November
2010
Aku
malu-malu melangkahkan kakiku ke tempat itu, aku sangat canggung. Wanita aneh
itu mendekatiku, tapi ia mengurungkannya ia lebih memeilih membalikkan
badannya, kembali kedalam rumah. Usianya hanya terpaut 9 tahun dariku, ia lebih
pantas menjadi kakakku bukan ibu tiriku. Jujur saja ia cantik, wajahnya
menenangkan. Ia selalu bisa menjadi orang yang menyenangkan. Mungki inilah
sebabnya mengapa ia berhasil mengalihkan dunia ayahku, berhasil menjauhkanku
dengan ayahku sendiri.
“Ameliaaaaaa”
Ayah yang melihatku dengan berlari memelukku, ia menangis. Lihat ayah menangis
sambil memelukku. Aku balik memeluknya.
“Ayah
sehat kan? Ayah ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum
vitamin itu kan, yah? Ayah lihat, sekarang Amelia sudah besar. Sekarang Amelia
sudah bekerja ayah, ayah lihat kan Amelia semakin cantik tak kalah cantik dari
Arini” aku memecahkan keheningan itu. Bahkan ayah tak marah saat aku menyebut
nama wanita itu.
“Amelia
kemana saja? Amelia tak rindu pada ayah? Ayah mencari Amelia kemana saja, ayah
tanya pada semua teman tapi tak ada yang tahu. Ayah merindukanmu, Nak” ia
memelukku semakin erat.
“Maafkan
Amel, yah. Amel sibuk beberapa waktu terakhir” aku menahan perasaan itu, aku
tak boleh lagi mendendam. Amel sibuk
menata hati, yah. “Ayah belum jawab pertanyaan Amel. Ayah sehat kan? Ayah
ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum vitamin itu kan, yah?”
aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Ayah
tersenyum, gurat wajahnya terlihat jelas, ia semakin menua tak segagah dulu.
“Ayah selalu sehat, hanya hati ayah yang sedikit sakit karena menahana rindu
tak terkira ini padamu”. Seorang anak kecil menghampiri ayah, usianya 4.
Wajahnya lucu sekali ia menarik tanganku.
“Ini
pasti Aqila” aku menebaknya asal. Ayah mengangguk,tersenyum tipis. “Aqila lucu
sekali ya ayah, pasti gadis mungil ini yang membuat ayah tak pernah kembali”
“Ayah
selalu kembali kesana Amel, ayah tak pernah pergi. Tapi ayah tak pernah
menemukan siapapun. Rumah itu selalu kosong tapi tak pernah kotor”
“Mungkin
saat itu Amel sedang pergi keluar kota” aku berbohong. Padahal aku meninggalkan
rumah itu, mencari kehidupan baru.
“Ayah
mengerti, Amel pasti menyibukkan diri. Melepaskan semua luka itu, ayah mengerti
Amel”
“Arini
mana yah?” aku mengalihkan pembicaraan.”Amel ingin pamit, Amel ingin pulang”
“Ia didalam, mengapa kau buru-buru sekali
Amelia. Bahkan kau belum duduk, kau belum bermain dengan Aqila. Harusnya kau
bercerita banyak pada ayah, tentang kuliahmu, beasiswamu dan tentang lelaki
yang akan meminangmu, ayah tak sabar ingin melihatmu menikah Amelia” ayah
mengucapkannnya dengan nada kecewa.
“Amelia
masih ada urusan lain ayah, urusan kantor. Amel hanya ingin mengetahui keadaan
ayah, Amel ingin ayah selalu baik-baik saja” ayah menatapku lekat sekali “Amel
janji yah, Amel akan kembali” aku memeluk ayah lalu berlalu tanpa berpamitan
pada Arini, ibu tiriku itu.
***
Kebahagiaan
terus menghampiri, aku mulai bisa menerima setiap keadaan, setiap kenyataan
yang berlalu. Semua ini bukan dibayar dengan harga yang gratis, ada air mata ,
ada kecewa, ada luka yang tiada tara. Namun semua berakhir indah.
Pagi
itu, ponselku berdering berkali-kali. Aku masih enggan untuk menerima telpon
itu. Mungkin ini sudah yang ketiga puluh kali.
“Selamat
pagi, dengan Amelia Novarini, ada yang bisa dibantu?” ucapku membuka
pembicaraan.
“Amel
ini ibu nak” suara diseberang sana membuat mataku benar-benar terbuka.
“Ibu...”
aku setengah berteriak. “Ibu apa kabar?
Ibu dimana sekarang? Ibu sehat?” aku bertanya, melepaskan sedikit rindu.
“Ibu
baik, saat ini juga bisakah kamu berangkat ke Cirebon sayang? Ibu akan segera
menyusul, sebentar lagi ibu tiba disana” ibu sedikit memaksa.
“Iya
bu, Amel berangkat” Aku bergegas menutup menuju Cirebon.
Cirebon, 24 Maret 2013
Rumah
itu dipenuhi banyak peziarah, bendera kuning berkibar dengan gagahnya. Hatiku
berdegup hebat. Siapa yang meninggal? Ibu berlari kearahku, memelukku erat.
“Kenapa bu?”
“Esok hari, kau harus bisa
memaafkan. Banyak hal tak terduga hadir dalam dunia ini” ia menelan ludah.
“Mulai besok, ibu akan kembali ke rumah bersama Aqila”
“Ayah?”
“Ayah pergi bersama Arini”
“Kemana?”
“Pergi jauh Amel, mereka kembali
pada Sang Pencipta”
Air mata itu tiba-tiba mengalir
deras, seakan aku tak ikhlas “Kenapa ayah juga harus pergi, Bu? Kenapa tidak
Arini saja!” aku mencari sosok ayah yang telah terbujur kaku. “Harusnya waktu
itu ayah minta Amel tetap disini, biar Amel bisa urus ayah” aku kembali menahan
air mata itu “Harusnya ayah tak perlu menikahi wanita itu, harusnya waktu itu
Amel saja yang mati bukan ayah” mulutku berceracau tak karuan.
“Bukankah kau Amelia Novarini,
wanita yang memiliki hati yang tulus? Wanita yang selalu bisa memaafkan?
Bukankah kau Amelia Novarini gadis yang tak pernah menyerah? Bukankah kau
Amelia Novarini, malaikat kecil ibu yang memiliki sejuta maaf, sejuta senyum,
sejuta bahagia tapi nol iri, nol benci, dan nol dendam. Berhentilah membenci
ayahmu nak, biarkan ia pergi dengan tenang. Biarkan ia bahagia disana, disini
kita tak bisa membahagiakannya nak, ikhlaskan dan relakan ya. Jangan simpan
dendam itu”
Aku masih diam mencerna apa yang
baru saja ibu katakan “Apa ibu sudah memafkan mereka bu?” aku bertanya getir.
“Ibu sudah memaafkan, kan Amel
sendiri yang menyuruh ibu untuk menjadi jiwa yang pemaaf” Ibu tersenyum lalu
memelukku.
Tak ada satupun yang tahu kapan ia
kembali tapi bagaimana proses kita kembali adalah tanda tanya. Jadilah pribadi
yang selalu memaafkan, menjadi pribadi yang
pemaaf nol iri nol benci dan nol dendan, tebar benih kebahagiaan
dimanapun berada, jangan pernah ikut campur yang bukan urusan kita atau kau
akan menjadi orang yang hobbynya menggunjing dan memfitnah. Sesakit apapun
kematian adalah akhir segalanya. Maafkan dan ikhlaskan mereka yang telah pergi.
Deevika
Bekasi, 15 April 2013