Tak
pernah terbersit sedikitpun tentang bagaimana rasa itu muncul, yang aku tahu
semua mengalir secara tiba-tiba. Aku tak pernah memaksakan apapun. Dalam
keheningan jiwa dalam penantian panjang dalam setiap mimpi-mimpi itu, tak
pernah ada keinginan untuk memperjelas tantang rasa ini. Hingga tiba-tiba ia
hadir tanpa disengaja, hadir dalam mimpiku, hadir dalam hidupku.
Kamis pagi diawal 2010, aku menatap
tajam pada seorang pria yang duduk disamping teras musolah kecil di ujung
sekolah, ini adalah kali pertama aku melihat anak itu badannya kecil, tingginya
sekitar 157cm kulitnya sawo matang. Ia pun tak kalah tajamnya ketika menatapku.
Ia melihatku dari atas sampai kebawah tak henti.
“Ada yang salah?” aku membuka
pembicaraan, risih.
“Saya bingung, saya tidak tahu ruang
kelas saya” ia menjawab jujur, polos sekali dengan logat jawa yang begitu
kental.
“Baru pindah ya? Kelas berapa?”
“Iya, kelas 11 TKJ”
“Oh, ruangan itu berada dipojok dari
sini kamu belok kanan lurus terus ada pertigaan belok kiri ruangannya paling
pojok ya”
“Oke, terimakasih” Ia menjawab lalu
bergegas pergi.
Aku menepuk jidatku, aku bahkan lupa
menanyakan namanya. Ya sudahlah mungkin memang belum waktunya.
***
Braaaakkkkkkkkkkkkkk
Suara
hantaman sepeda motor dengan sebuah angkutan kota tak bisa terelakkan , aku
menatap arloji ditanganku mendengus sebal, aku tak melihat apa yang terjadi jam
pertama ada ujian lisan, aku sibuk dengan modul digenggaman tanganku, membolak-balikkan tanpa henti menghapalkannya
dengan cepat.
Kecelakaan itu tepat didepan mataku,
aku sejenak terdiam membisu. Motor itu melaju dengan kecepatan normal,
tiba-tiba angkutan kota disebelahnya menyalip hingga pengendara itu terpental
jauh beberapa meter. Awalnya ia masih baik-baik saja, namun dari arah belakang
sebuah truk pasir menghantam tubuhnya saat ia berusaha bangkit, tubuhnya
semakin terpental jauh, helmnya terlepas dari kepalanya. Aku meringis sedih.
Keramaian
semakin terasa, kemacetan semakin panjang. Aku mendengus semakin kesal.
Akhirnya aku putuskan turun dari angkuatan kota itu. Melanjutkan berjalan kaki.
Siswa lainnya pun mengikuti jejakku. Tiba-tiba pandanganku nanar menatap korban
kecalakaan itu, aku sangat mengenali sepatu dan tas yang ia kenakan. Aku
menarik salah seorang teman sekelasku yang kebetulan saat itu berjalan
beriringan denganku.
“Cepat telepone ke sekolah” ucapku
terisak sambil memandangi jenazah itu.
“Itu.. Dia.. Anak sekolah kita?”
Kawanku itu langsung ikut menangis.
“Cepat!!!” Perintahku.
Ia langsung menghubungi sekolah. Aku
sendiri sibuk memperhatikan korban itu, menangis tanpa henti, aku merapikan
serpihan tubuhnya yang bercecer ke tengah jalan. Aku tak lagi peduli dengan
keadaan sekitar, aku tak peduli orang melihatku.
Tak lama kemudian, seorang guru
datang sambil berlari tergesa-gesa. Menghampiriku lalu memelukku erat sekali.
“Itu.. Dia Rafli” bibirku tak henti
merintih.
“Bersabarlah Andini”
“Ibu, ini mimpi kan bu? Ibu bilang
sama Andin kalau semuanya akan baik-baik, bilang bu sama Andin kalau Rafli bisa
ujian bareng kita” aku berceracau tak karuan, seakan tak bisa menerima
kenyataan.
“Andini anak ibu yang baik, bagaimanapun
kita harus menerima kenyataan. Ia akan tetap melihat kita berjuang dalam ujian
itu, khususnya kamu Andini kamu mendapatkan ujian yang lebih banyak. Kamu harus
lebih tabah”
“Ibu, aku bingung aku harus
bagaimana, dia itu separuh hidup aku”
“Kamu tahu Andini, masa lalu itu
selalu berada dibelakang, untuk ia berada dalam masa depanmu itu urusanmu, jika
kamu hidup dengan masa lalumu maka bukan
berarti kamu bisa bahagia lalu menyeimbangkan dengan masa depanmu. Bisa jadi ia
mengganggu masa depanmu itu”
“Ibu ini tidak mudah”
“Tapi tak sesulit yang kau
bayangkan” Bu Ani terus menenangkanku “Kau harus berjalan ke depan” ia menarik
nafas “Kau harus sanggup, tak boleh menyerah”
***
Aku memandang pria ini lekat,
matanya indah sekali tak pernah bisa terpejam saat melihatnya. Namun, aku tak
tahu siapa gerangan pria itu. Hanya bisa menjadi penggemar rahasia hingga batas
waktu yang tak bisa ditentukan.
Hingga saat itu ia datang tepat di
depan mataku, mataku tak bergeming menatap badge nama di dada sebelah kanannya,
Rafli Irawan. Aku ingat, aku adalah orang yang pertama kali ditanya dimana
ruang kelasnya. Aku bangkit dari dudukku, tersenyum padanya lalu kembali ke
kelas.
“Tahu ngga itu siapa?” tanyaku pada
seorang teman,
“Ohh, dia kan anak pindahan dari
Pacitan” ia menjawab datar.
“Aku juga tahu kalau dia anak
pindahan, maksud aku namanya”
“Ambil aja absen kelasnya, cari nama
yang belum pernah kita tahu, nah berarti itu nama dia” temanku itu memberi
usul.
Aku mengangguk yakin, tanpa
basa-basi aku ambil daftar nama siswa dikelas itu, kebetulan daftar absen
memang tersedia bebas. Siapapun bisa mengambilnya, aku tersenyum mantap.
“Ketemu namanya?” Arini temanku yang
sedari tadi menemaniku ikut bertanta, penasaran.
“Rafli Irawan” jawabku singkat.
***
Pagi ini aku berangkat terlalu
siang, aku menggelengkan kepala. Aku tak
yakin bisa tiba disekolah tepat waktu. Aku menoleh ke arah kiri, aku hampir
saja berteriak. Lalu aku memandang sahabatku, ia tepat duduk disebelah kiriku.
Aku mencengkram tangannya erat.
“Kenapa si Andin?” ucapnya kesal.
“Itu, anak baru yang waktu itu aku
ceritakan ke kamu” aku mencoba mengingatkannya tentang pria itu,
“ohh, yang katanya dari Pacitan itu
yaa?”
Aku menatap Shafira lekat,
mengangguk yakin.
“Yakin mau sama dia?”
“Yakin, udah jatuh cinta berat” aku
menjawab sekenanya.
“Aduh sepertinya susah An” ia
menjawab ragu.
“Kenapa?” aku ikut bersedih.
“Yang pertama, dia itu ganteng
banget ya walaupun badannya kecil gitu. Yang kedua, dia itu pintar. Kamu tahu,
nilai matematikanya selalu sempurna. Yang ketiga, saingan kamu banyak, yang
jatuh cinta sama dia juga banyak, jadi bersiaplah untuk patah hati”
“Bisa kenal aja udah Alhamdulillah ,
Fir” aku tak kalah hebat menjawabnya. Sebenarnya ikut pesimis. Aku bukan
siapa-siapa, aku tidak terkenal aku pun tak terlalu cantik. “Aku akan jadi
yang terakhir untuknya” kali ini aku
menjawab mantap. Shafira hanya tertawa lebar.
“Jangan kebanyakan mimpi, An” Ia
mencoba memupuskan harapanku lagi.
“My dream will be come true” Aku
menjawab lebih yakin lagi. Ia menepuk pundakku.
***
Entah bagaimana caranya, virus merah
jambu itu terus berkembang, kini semakin parah. Setiap hari aku menunggunya didepan
kelas, aku hapal betul dimana saat aku harus beradadidepan kelas, aku jadi
hapal betul pukul berapa ia lewat didepan kelasku. Bahkan aku hapal bahwa itu
dia hanya dari belakang,aku hapal betul suara langkah kakinya.
“Sejak kapan jadi penjaga pintu, An”
ledek Fino, teman sekelasku.
“Sejak lihat Cowok itu” aku menunjuk
ke arah Rafli.
“Ohh Rafli”
“Iya, kenal sama dia?” aku
basa-basi.
“Kenal, dia juga minta nomor hp kamu”
Aku tersenyum riang, hampir saja aku
memeluk teman laki-lakiku itu, aku nyaris berteriak histeris, terlalu bahagia,
setidaknya aku tahu bahwa bukan hanya aku yang menunggu, ia pun menunggu. Tapi,
aku tetap tak boleh terlalu kegeeran, mungkin ia hanya ingin menjadikan aku
partner kerjanya. Kami sama-sama suka menulis, aku menulis cerpen sedangkan ia
menulis puisi.
Sejak
saat itu aku berhubungan langsung dengan Rafli. Ia menjadikanku jauh lebih
bahagia. Selalu ada nasihat dan motivasi yang ia berikan, ia tak pernah
memprotes kelakuanku hanya saja ia sering terlihat sinis ketika aku melakukan
kesalahan. Seperti saat rambutku jatuh terurai keluar dari jilbab ia memprotes
“Katanya sayang sama aku, kok rambutnya keluar gitu, kelihatan nanti si Zaddan nanti. Kamu itu kan
Cuma buat aku” atau saat aku mengenakan baju yang pas dibadan ia langsung
memberikan jaketnya yang sangat longgar ditubuhku itu, “kamu kedinginan kan, An?
Pakai jaket aku aja yaa” padahal jelas sekali siang itu sangat terik, saat itu
aku ingin menolaknya tapi ia memandangku dengan tatapan matanya. “kamu kan cuma
buat aku” ia tersenyum menarik jilbabku. Selalu itu yang terucap saat merayuku,
Kamu kan cuma buat aku, An.
Hingga
tiba hari yang aku tunggu, saat ia menyatakan perasaannya dihadapan seluruh
sahabatku, saat dengan romantisnya ia menatap tajam. Ia meyakinkan semua orang
dengan apa yang dia ucapkan. Mata indahnya, senyum tulusnya dan lembut tutur
katanya. Ahh, siapapun pasti terpesona dengan kharismanya.
“Aku selalu bahagia ketika aku
melihatmu, entah mengapa aku melihat diriku dalam pandangan tajam matamu, aku
ingin selalu bersamamu. Hiduplah bersamaku, jadikan aku calon pendamping
hidupmu kelak, selamanya” ia menatapku tajam, tersenyum pada seluruh sahabatku.
Tatapan matanya meyakinkan semua yang ada disana.
Aku
mengangguk yakin “Jadikan aku yang terakhir dalam hidupmu”
“Pasti Andini, hanya kau yang tahu
suara langkah kakiku, hanya kau yang tahu bahwa aku sedang tak sehat padahal
aku masih sehat-sehat saja. Kau tahu apa yang tidak aku ucapkan. Aku akan
menjadikanmu yang terakhir dalam hidupku, kau yang terbaik yang penah aku
mililki, tak akan ada lagi yang lain, aku janji”
“Orangtuamu?” aku meledeknya.
“Semuanya akan menerimamu, mereka
akan selalu menyayangimu. Kamu akan jadi perempuan yang paling disayang sama
ibu dan ayah. Jadi kakak yang cantik untuk dua adik laki-lakiku. Aku janji,
dalam waktu dekat aku akan mengenalkanmu pada kelurga besarku” aku tersipu
malu.
***
Aku masih menangis dihadapan tubuh
yang terbujur kaku itu, mengapa aku hanya diberi kesempatan yang sangat
singkat, 16 hari 18jam 50menit 58detik? Mengapa harus aku yang merasakan semua
ini. Mengapa aku yang bisa merasakan cinta yang begitu tulus tapi singkat ini?
Kenapa harus sekarang, saat aku mencoba mewujudkan mimpiku bersama dia.
Senyuman itu selalu teringat dikamar
fikirku aku tak akan pernah melupakannya. Dia bukan yang pertama, dia juga
bukan yang terindah bukan juga yang terbaik tapi ia mampu menjadikanku lebih
indah, lebih baik dan lebih semangat. Ia motivator terhabat, ia selalu berkata
“Jangan pernah menyerah sebelum mencoba, harus tetap jadi Andini yang aku kenal, Andini yang hebat dan tak pernah
menyerah” Aku selalu mengingat itu, selalu ingat saat ia menarik ujung rambutku
yang keluar dari jilbab tipis ini “Kalau ingin menjalankan sesuatu itu jangan
setengah-setengah. Nanti hasilnya ngga maksimal”. Aku selalu mengingat semua
nasihatnya.
Ia benar-benar menunaikan janjinya,
hari ini aku mengenal ibunya. Aku tersenyum melihat ibuunya, bersalaman lalu ia
memelukku.
“Kamu Andini yaa?” Ibu menangis
sambil memelukku.
“Iya bu, maafkan Andin yaa bu kalau
Andin punya salah”
“Andin makasih Andin sudah membuat
anak ibu menjadi lebih baik, hatinya lebih baik beberapa terakhir ini. Dia juga
sempat bilang sama ibu, Ibu nanti ibu
khitbahkan Andini buat kakak yaa bu, kenalkan Andini pada keluarga besar kita.
Terus ibu tanya, emang Andini siapa? Dia jawab “Dia teman dekat kakak bu,
anaknya cantik deh, baik banget. Ibu harus kenal sama dia. Besok juga ibu bisa
ketemu dia. Nanti Andini jadi anak perempuan terbaik ibu. Ternyata benar hari
ini ibu bisa ketemu sama Andin, benar apa yang dibilang sama Rafli. Andini mau kan jadi anak perempuan ibu?” ibu
menceritakan semuanya. Aku tersenyum, mengangguk.
Hari itu aku tak mampu berkata
apa-apa hanya mampu tersenyum melihatnya, bahkan saat teman-temanku menjerit
aku tak sanggup mengatakan apapun, aku hanya mampu tersenyum lalu memeluk
beberapa diantara meraka, untuk menghilangkan sakit yang menyiksa batin kabar
yang tak teduga.
“Kok lo bisa yaa ngga menangis?”
ujar Dian. Teman sekelas Rafli.
“Aku ngga tahu harus bagaimana?” aku
menjawab seadanya, ia tersenyum melihatku.
“Sumpah, gue ngga pernah menyangka
An. Besok kita ujian , besok seharusnya dia memberikan contekan ke gue, tapi
tiba-tiba semua berubah dari yang kita rencanakan. Gue akan sangat amat
merindukan dia An” ia tersenyum getir, kembali menangis. Aku refleks memeluk
tubuhnya.
“Rafli lulus sebelum ujian, Di” aku
mencoba menenangkan.
“Ngga akan ada lagi yang kritik gue,
ngga ada lagi yang bilang itu rambut mau
ditutup apa mau dibotakin. Susah diaturnya deh”
“Padahal kemarin aku sengaja cari
kamera, dia bilang aku mau dong difoto
sama kamu sekali-kali. Ehh ternyata dia minta difoto untuk terakhir kali”
aku menerawang jauh mengingat semuanya.
“Terakhir dia sempat bilang, Di gue sayang sesayang sayangnya sama
Andini, bisa ngga ya dia jadi yang terakhir buat gue. Sumpah Di gue ngga akan
rela kalau Andini menjalani sama yang lain apalagi lelaki itu ngga tulus, ngga
benar-benar sayang. Bagaimanapun gue Cuma mau dia buat gue” Dian memelukku
semakin erat.
“Semalam aku mimpi, dia datang ke
mimpi aku. Dia cium kening aku terus dia belai rambut aku, dia bilang dia
sayang sama aku terus pergi. Padahal kan dia ngga pernah mau kayak gitu, pegang
tangan aja ngga”
“Sumpah gue ngga kuat Andini” Dian
semakin terisak.
“Harus kuat, kita harus lulus kita
buat Rafli bangga” Aku membangkitkan semangatnya. Aku melepas pelukan itu,
menghampiri tubuh yang telah dibersihkan, telah dikafani aku mendekatkan
wajahku ke telinganya. Terimakasih telah
menyempurnakan hatiku, relakan aku menjalani hidup sesuai yang Tuhan gariskan.
Bukan aku tak mencintaimu, tapi aku terlalu rapuh untuk terus mengenang
kejadian ini. Terimakasih untuk 16hari 18jam 50menitnya. Terimakasih untuk
kesempatan indah itu, terimakasih sudah membimbingku kembali membuka hati.
Tenang yaa disana.
Hari-hari kemudian aku dihadapkan
pada penantian panjang, kesebaran luar biasa dan keikhlasan tiada terkira.
Terimakasih kau menguatkan hatiku. Kau menjadikan beberapa hari ini begitu
membahagiakan. Waktu yang singkat ini ternyata mampu membuatku menjadi lebih
indah. Malam seakan tenggelam bersama sinar bintang. Terimakasih cinta.
***
Deevika
Bekasi,
18 Desember 2010, 18:55 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar