Selasa, 28 Mei 2013

Malam Tenggelam




Tak pernah terbersit sedikitpun tentang bagaimana rasa itu muncul, yang aku tahu semua mengalir secara tiba-tiba. Aku tak pernah memaksakan apapun. Dalam keheningan jiwa dalam penantian panjang dalam setiap mimpi-mimpi itu, tak pernah ada keinginan untuk memperjelas tantang rasa ini. Hingga tiba-tiba ia hadir tanpa disengaja, hadir dalam mimpiku, hadir dalam hidupku.
            Kamis pagi diawal 2010, aku menatap tajam pada seorang pria yang duduk disamping teras musolah kecil di ujung sekolah, ini adalah kali pertama aku melihat anak itu badannya kecil, tingginya sekitar 157cm kulitnya sawo matang. Ia pun tak kalah tajamnya ketika menatapku. Ia melihatku dari atas sampai kebawah tak henti.
            “Ada yang salah?” aku membuka pembicaraan, risih.
            “Saya bingung, saya tidak tahu ruang kelas saya” ia menjawab jujur, polos sekali dengan logat jawa yang begitu kental.
            “Baru pindah ya? Kelas berapa?”
            “Iya, kelas 11 TKJ”
            “Oh, ruangan itu berada dipojok dari sini kamu belok kanan lurus terus ada pertigaan belok kiri ruangannya paling pojok ya”
            “Oke, terimakasih” Ia menjawab lalu bergegas pergi.
            Aku menepuk jidatku, aku bahkan lupa menanyakan namanya. Ya sudahlah mungkin memang belum waktunya.

***
            Braaaakkkkkkkkkkkkkk
Suara hantaman sepeda motor dengan sebuah angkutan kota tak bisa terelakkan , aku menatap arloji ditanganku mendengus sebal, aku tak melihat apa yang terjadi jam pertama ada ujian lisan, aku sibuk dengan modul digenggaman tanganku,  membolak-balikkan tanpa henti menghapalkannya dengan cepat.
            Kecelakaan itu tepat didepan mataku, aku sejenak terdiam membisu. Motor itu melaju dengan kecepatan normal, tiba-tiba angkutan kota disebelahnya menyalip hingga pengendara itu terpental jauh beberapa meter. Awalnya ia masih baik-baik saja, namun dari arah belakang sebuah truk pasir menghantam tubuhnya saat ia berusaha bangkit, tubuhnya semakin terpental jauh, helmnya terlepas dari kepalanya. Aku meringis sedih.
Keramaian semakin terasa, kemacetan semakin panjang. Aku mendengus semakin kesal. Akhirnya aku putuskan turun dari angkuatan kota itu. Melanjutkan berjalan kaki. Siswa lainnya pun mengikuti jejakku. Tiba-tiba pandanganku nanar menatap korban kecalakaan itu, aku sangat mengenali sepatu dan tas yang ia kenakan. Aku menarik salah seorang teman sekelasku yang kebetulan saat itu berjalan beriringan denganku.
            “Cepat telepone ke sekolah” ucapku terisak sambil memandangi jenazah itu.
            “Itu.. Dia.. Anak sekolah kita?” Kawanku itu langsung ikut menangis.
            “Cepat!!!” Perintahku.
            Ia langsung menghubungi sekolah. Aku sendiri sibuk memperhatikan korban itu, menangis tanpa henti, aku merapikan serpihan tubuhnya yang bercecer ke tengah jalan. Aku tak lagi peduli dengan keadaan sekitar, aku tak peduli orang melihatku.
            Tak lama kemudian, seorang guru datang sambil berlari tergesa-gesa. Menghampiriku lalu memelukku erat sekali.
            “Itu.. Dia Rafli” bibirku tak henti merintih.
            “Bersabarlah Andini”
            “Ibu, ini mimpi kan bu? Ibu bilang sama Andin kalau semuanya akan baik-baik, bilang bu sama Andin kalau Rafli bisa ujian bareng kita” aku berceracau tak karuan, seakan tak bisa menerima kenyataan.
            “Andini anak ibu yang baik, bagaimanapun kita harus menerima kenyataan. Ia akan tetap melihat kita berjuang dalam ujian itu, khususnya kamu Andini kamu mendapatkan ujian yang lebih banyak. Kamu harus lebih tabah”
            “Ibu, aku bingung aku harus bagaimana, dia itu separuh hidup aku”
            “Kamu tahu Andini, masa lalu itu selalu berada dibelakang, untuk ia berada dalam masa depanmu itu urusanmu, jika kamu hidup  dengan masa lalumu maka bukan berarti kamu bisa bahagia lalu menyeimbangkan dengan masa depanmu. Bisa jadi ia mengganggu masa depanmu itu”
            “Ibu ini tidak mudah”
            “Tapi tak sesulit yang kau bayangkan” Bu Ani terus menenangkanku “Kau harus berjalan ke depan” ia menarik nafas “Kau harus sanggup, tak boleh menyerah”
***
           
            Aku memandang pria ini lekat, matanya indah sekali tak pernah bisa terpejam saat melihatnya. Namun, aku tak tahu siapa gerangan pria itu. Hanya bisa menjadi penggemar rahasia hingga batas waktu yang tak bisa ditentukan.
            Hingga saat itu ia datang tepat di depan mataku, mataku tak bergeming menatap badge nama di dada sebelah kanannya, Rafli Irawan. Aku ingat, aku adalah orang yang pertama kali ditanya dimana ruang kelasnya. Aku bangkit dari dudukku, tersenyum padanya lalu kembali ke kelas.
            “Tahu ngga itu siapa?” tanyaku pada seorang teman,
            “Ohh, dia kan anak pindahan dari Pacitan” ia menjawab datar.
            “Aku juga tahu kalau dia anak pindahan, maksud aku namanya”
            “Ambil aja absen kelasnya, cari nama yang belum pernah kita tahu, nah berarti itu nama dia” temanku itu memberi usul.
            Aku mengangguk yakin, tanpa basa-basi aku ambil daftar nama siswa dikelas itu, kebetulan daftar absen memang tersedia bebas. Siapapun bisa mengambilnya, aku tersenyum mantap.
            “Ketemu namanya?” Arini temanku yang sedari tadi menemaniku ikut bertanta, penasaran.
            “Rafli Irawan” jawabku singkat.       
            ***
            Pagi ini aku berangkat terlalu siang, aku menggelengkan kepala.  Aku tak yakin bisa tiba disekolah tepat waktu. Aku menoleh ke arah kiri, aku hampir saja berteriak. Lalu aku memandang sahabatku, ia tepat duduk disebelah kiriku. Aku mencengkram tangannya erat.
            “Kenapa si Andin?” ucapnya kesal.
            “Itu, anak baru yang waktu itu aku ceritakan ke kamu” aku mencoba mengingatkannya tentang pria itu,
            “ohh, yang katanya dari Pacitan itu yaa?”
            Aku menatap Shafira lekat, mengangguk yakin.
            “Yakin mau sama dia?”
            “Yakin, udah jatuh cinta berat” aku menjawab sekenanya.
            “Aduh sepertinya susah An” ia menjawab ragu.
            “Kenapa?” aku ikut bersedih.
            “Yang pertama, dia itu ganteng banget ya walaupun badannya kecil gitu. Yang kedua, dia itu pintar. Kamu tahu, nilai matematikanya selalu sempurna. Yang ketiga, saingan kamu banyak, yang jatuh cinta sama dia juga banyak, jadi bersiaplah untuk patah hati”
            “Bisa kenal aja udah Alhamdulillah , Fir” aku tak kalah hebat menjawabnya. Sebenarnya ikut pesimis. Aku bukan siapa-siapa, aku tidak terkenal aku pun tak terlalu cantik. “Aku akan jadi yang  terakhir untuknya” kali ini aku menjawab mantap. Shafira hanya tertawa lebar.
            “Jangan kebanyakan mimpi, An” Ia mencoba memupuskan harapanku lagi.
            “My dream will be come true” Aku menjawab lebih yakin lagi. Ia menepuk pundakku.
***
            Entah bagaimana caranya, virus merah jambu itu terus berkembang, kini semakin parah. Setiap hari aku menunggunya didepan kelas, aku hapal betul dimana saat aku harus beradadidepan kelas, aku jadi hapal betul pukul berapa ia lewat didepan kelasku. Bahkan aku hapal bahwa itu dia hanya dari belakang,aku hapal betul suara langkah kakinya.
            “Sejak kapan jadi penjaga pintu, An” ledek Fino, teman sekelasku.
            “Sejak lihat Cowok itu” aku menunjuk ke arah Rafli.
            “Ohh Rafli”
            “Iya, kenal sama dia?” aku basa-basi.
            “Kenal,  dia juga minta nomor hp kamu”
            Aku tersenyum riang, hampir saja aku memeluk teman laki-lakiku itu, aku nyaris berteriak histeris, terlalu bahagia, setidaknya aku tahu bahwa bukan hanya aku yang menunggu, ia pun menunggu. Tapi, aku tetap tak boleh terlalu kegeeran, mungkin ia hanya ingin menjadikan aku partner kerjanya. Kami sama-sama suka menulis, aku menulis cerpen sedangkan ia menulis puisi.
Sejak saat itu aku berhubungan langsung dengan Rafli. Ia menjadikanku jauh lebih bahagia. Selalu ada nasihat dan motivasi yang ia berikan, ia tak pernah memprotes kelakuanku hanya saja ia sering terlihat sinis ketika aku melakukan kesalahan. Seperti saat rambutku jatuh terurai keluar dari jilbab ia memprotes “Katanya sayang sama aku, kok rambutnya keluar gitu,  kelihatan nanti si Zaddan nanti. Kamu itu kan Cuma buat aku” atau saat aku mengenakan baju yang pas dibadan ia langsung memberikan jaketnya yang sangat longgar ditubuhku itu, “kamu kedinginan kan, An? Pakai jaket aku aja yaa” padahal jelas sekali siang itu sangat terik, saat itu aku ingin menolaknya tapi ia memandangku dengan tatapan matanya. “kamu kan cuma buat aku” ia tersenyum menarik jilbabku. Selalu itu yang terucap saat merayuku, Kamu kan cuma buat aku, An.
Hingga tiba hari yang aku tunggu, saat ia menyatakan perasaannya dihadapan seluruh sahabatku, saat dengan romantisnya ia menatap tajam. Ia meyakinkan semua orang dengan apa yang dia ucapkan. Mata indahnya, senyum tulusnya dan lembut tutur katanya. Ahh, siapapun pasti terpesona dengan kharismanya.
            “Aku selalu bahagia ketika aku melihatmu, entah mengapa aku melihat diriku dalam pandangan tajam matamu, aku ingin selalu bersamamu. Hiduplah bersamaku, jadikan aku calon pendamping hidupmu kelak, selamanya” ia menatapku tajam, tersenyum pada seluruh sahabatku. Tatapan matanya meyakinkan semua yang ada disana.
Aku mengangguk yakin “Jadikan aku yang terakhir dalam hidupmu”
            “Pasti Andini, hanya kau yang tahu suara langkah kakiku, hanya kau yang tahu bahwa aku sedang tak sehat padahal aku masih sehat-sehat saja. Kau tahu apa yang tidak aku ucapkan. Aku akan menjadikanmu yang terakhir dalam hidupku, kau yang terbaik yang penah aku mililki, tak akan ada lagi yang lain, aku janji”
            “Orangtuamu?” aku meledeknya.
            “Semuanya akan menerimamu, mereka akan selalu menyayangimu. Kamu akan jadi perempuan yang paling disayang sama ibu dan ayah. Jadi kakak yang cantik untuk dua adik laki-lakiku. Aku janji, dalam waktu dekat aku akan mengenalkanmu pada kelurga besarku” aku tersipu malu.
                                                         ***
            Aku masih menangis dihadapan tubuh yang terbujur kaku itu, mengapa aku hanya diberi kesempatan yang sangat singkat, 16 hari 18jam 50menit 58detik? Mengapa harus aku yang merasakan semua ini. Mengapa aku yang bisa merasakan cinta yang begitu tulus tapi singkat ini? Kenapa harus sekarang, saat aku mencoba mewujudkan mimpiku bersama dia.
            Senyuman itu selalu teringat dikamar fikirku aku tak akan pernah melupakannya. Dia bukan yang pertama, dia juga bukan yang terindah bukan juga yang terbaik tapi ia mampu menjadikanku lebih indah, lebih baik dan lebih semangat. Ia motivator terhabat, ia selalu berkata “Jangan pernah menyerah sebelum mencoba, harus tetap jadi Andini yang aku  kenal, Andini yang hebat dan tak pernah menyerah” Aku selalu mengingat itu, selalu ingat saat ia menarik ujung rambutku yang keluar dari jilbab tipis ini “Kalau ingin menjalankan sesuatu itu jangan setengah-setengah. Nanti hasilnya ngga maksimal”. Aku selalu mengingat semua nasihatnya.
            Ia benar-benar menunaikan janjinya, hari ini aku mengenal ibunya. Aku tersenyum melihat ibuunya, bersalaman lalu ia memelukku.
            “Kamu Andini yaa?” Ibu menangis sambil memelukku.
            “Iya bu, maafkan Andin yaa bu kalau Andin punya salah”
            “Andin makasih Andin sudah membuat anak ibu menjadi lebih baik, hatinya lebih baik beberapa terakhir ini. Dia juga sempat bilang sama ibu, Ibu nanti ibu khitbahkan Andini buat kakak yaa bu, kenalkan Andini pada keluarga besar kita. Terus ibu tanya, emang Andini siapa? Dia jawab “Dia teman dekat kakak bu, anaknya cantik deh, baik banget. Ibu harus kenal sama dia. Besok juga ibu bisa ketemu dia. Nanti Andini jadi anak perempuan terbaik ibu. Ternyata benar hari ini ibu bisa ketemu sama Andin, benar apa yang dibilang sama Rafli. Andini  mau kan jadi anak perempuan ibu?” ibu menceritakan semuanya. Aku tersenyum, mengangguk.
            Hari itu aku tak mampu berkata apa-apa hanya mampu tersenyum melihatnya, bahkan saat teman-temanku menjerit aku tak sanggup mengatakan apapun, aku hanya mampu tersenyum lalu memeluk beberapa diantara meraka, untuk menghilangkan sakit yang menyiksa batin kabar yang tak teduga.
            “Kok lo bisa yaa ngga menangis?” ujar Dian. Teman sekelas Rafli.
            “Aku ngga tahu harus bagaimana?” aku menjawab seadanya, ia tersenyum melihatku.
            “Sumpah, gue ngga pernah menyangka An. Besok kita ujian , besok seharusnya dia memberikan contekan ke gue, tapi tiba-tiba semua berubah dari yang kita rencanakan. Gue akan sangat amat merindukan dia An” ia tersenyum getir, kembali menangis. Aku refleks memeluk tubuhnya.
            “Rafli lulus sebelum ujian, Di” aku mencoba menenangkan.
            “Ngga akan ada lagi yang kritik gue, ngga ada lagi yang bilang itu rambut mau ditutup apa mau dibotakin. Susah diaturnya deh
            “Padahal kemarin aku sengaja cari kamera, dia bilang aku mau dong difoto sama kamu sekali-kali. Ehh ternyata dia minta difoto untuk terakhir kali” aku menerawang jauh mengingat semuanya.
            “Terakhir dia sempat bilang, Di gue sayang sesayang sayangnya sama Andini, bisa ngga ya dia jadi yang terakhir buat gue. Sumpah Di gue ngga akan rela kalau Andini menjalani sama yang lain apalagi lelaki itu ngga tulus, ngga benar-benar sayang. Bagaimanapun gue Cuma mau dia buat gue” Dian memelukku semakin erat.
            “Semalam aku mimpi, dia datang ke mimpi aku. Dia cium kening aku terus dia belai rambut aku, dia bilang dia sayang sama aku terus pergi. Padahal kan dia ngga pernah mau kayak gitu, pegang tangan aja ngga”
            “Sumpah gue ngga kuat Andini” Dian semakin terisak.
            “Harus kuat, kita harus lulus kita buat Rafli bangga” Aku membangkitkan semangatnya. Aku melepas pelukan itu, menghampiri tubuh yang telah dibersihkan, telah dikafani aku mendekatkan wajahku ke telinganya. Terimakasih telah menyempurnakan hatiku, relakan aku menjalani hidup sesuai yang Tuhan gariskan. Bukan aku tak mencintaimu, tapi aku terlalu rapuh untuk terus mengenang kejadian ini. Terimakasih untuk 16hari 18jam 50menitnya. Terimakasih untuk kesempatan indah itu, terimakasih sudah membimbingku kembali membuka hati. Tenang yaa disana.
            Hari-hari kemudian aku dihadapkan pada penantian panjang, kesebaran luar biasa dan keikhlasan tiada terkira. Terimakasih kau menguatkan hatiku. Kau menjadikan beberapa hari ini begitu membahagiakan. Waktu yang singkat ini ternyata mampu membuatku menjadi lebih indah. Malam seakan tenggelam bersama sinar bintang. Terimakasih cinta.
***
           
           Deevika
Bekasi, 18 Desember 2010,  18:55 WIB
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...