Selasa, 28 Mei 2013

Pelangi Kelabu



Aku melempar gelas itu tepat mengenai cermin di kamarku. “Praaaaaaaaaaaaang” semua pecah berantakan. Aku tak peduli lagi apa yang sedang  mereka bicarakan aku hanya ingin menyendiri disini. Berusaha melepaskan semua amarah dan kecewa, ingin rasanya aku berlari dari kenyataan. Tak peduli berapapun jauhnya aku hanya ingin bahagia.
Mereka terus mengetuk pintu kamarku, ku tutup telinga sekuat mungkin. Aku sudah terpaku diujung kamar ini sambil memeluk lutut menahan tangis sebisa mungkin. Aku harus kuat. Mereka yang selama ini menguatkanku tiba-tiba berubah layaknya serigala dengan cepat dapat membunuh siapa saja. Kali ini, mereka membunuh mimpiku, membunuh masa depanku dan membunuh kekuatanku.
Ruangan ini adalah saksi perjuanganku, aku tak pernah berhenti menggali semua hal yang membuatku bahagia.Seakan tak ada lagi harapan yang mampu membangkitkan semangatku. Aku mencoba berlari, jauh dari kenyataan tapi kenyataan semakin mendekat, menyadarkanku bahwa semua yang terjadi tak bisa kuulangi lagi. Dadaku terasa sesak terlalu sempit untuk terus berada disini.
“Kemana Amelia?” wanita aneh itu bertanya padaku.
Aku tak peduli, ia yang menghancurkan semuanya. Wanita yang tiba-tiba hadir ditengah kebahagiaan keluarga kami. Aku hanya mendengus sebal dihadapannya. Jujur saja rasanya aku ingin menikammya dengan apapun seperti ia mematikan masa depanku.”Jangan ikut campur yang bukan urusan anda, Nyonya” akhirnya aku membuka mulut, terpaksa. Ayah sudah menatapku tajam.
“Amelia, tolong jangan bersikap seperti itu terus” kali ini ayah memohon kepadaku.
“Amel akan tetap seperti yang ayah tahu dihadapan ayah, tapi tidak dihadapan wanita  itu” aku menjawab tak karuan.
“Amel, sejak kapan kamu berbicara seperti itu?” ayah tampak terkejut.
“Sejak perempuan itu ada disini dan menggantikan posisi ibu” aku langsung berlari pergi.tak lagi aku pedulikan ceracau ayah yang semakin tak karuan.


          Semua ini berlalu begitu cepat, tanpa jeda. Bahkan aku tak bisa melupakan semuanya begitu saja. Menyakitkan. Lebih baik aku melihat lelaki itu mati daripada ibu yang menderita. Aku saksi hidup dalam masalah ini, aku narasumbernya. Aku yang pertama kali melihat kejadian menjijijkan itu.
“Kau tahu om apa yang menyakitkan hati hingga hati itu mati?” kira-kira begitu aku memanggil laki-laki yang biasa aku panggil ayah.
            “Amelia, tahukah kau hal apa yang menyakitkan untuk orang tua? Tahukah kau Amel, bagaimanapun diriku, kau tetaplah anakku” ia menjawab santai.
            “Tak ada hal menyakitkan untuk lelaki sepertimu, semua itu tak sebanding atas apa yang kau lakukan padaku dan keluarga ini. Jiwaku sudah terlalu lelah untuk menghormati lelaki yang tak bisa menjaga hati dan dirinya untuk keluarga”
            “Semuanya tak seperti yang kau bayangkan, Amel. Percayalah pada ayah”
            “Tapi semuanya seperti yang aku lihat”
            “Kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi”
            “Dan kau tidak tahu apa yang terjadi pada ibu”
            “Ayah tak pernah meninggalkan ibu, nak” intonasinya melemah.
            “Tapi kau tetap bertahan dengan perempuan itu” aku menjawab kasar.
            “Ibumu yang meminta”
            “Karena kesabarannya telah habis dan kau -berselingkuh-“ aku lebih hati-hati dengan ucapan itu.
            Hempaskan semua lelah yang tak pernah berhenti menghampiri tubuh ini, takkan pernah rela ada jiwa yang selalu tersakiti, sekecil apapun itu dendam tak pernah usai. Jika kali ini ada kesempatan untuk mengakhiri tanpa ada kebahagiaan di masa depan, lebih baik mengakhiri semuanya. Tapi tak semudah itu, dendam tak akan merubah yang mati menjadi hidup kembali.
            Hidup itu bukan sekedar bahagia, luka, tertawa atau menangis.
Tapi lebih menitikberatkan pada kekuatan hati. Saat ditikam tanpa arah lalu menyisakkan luka. Bukan pula sekedar perjuangan mencabut duri dari kaki, tapi hidup tentang bagaimana mempertahankan harga diri. Terlalu munafik jika aku bisa hidup dengan kebencian yang begitu mendalam, padahal dalam lubuk hatiku aku merindukannya.
            “Sejauh apapun ia pergi, ia tetap ayahmu” ibu berbisik pelan “kau harus bisa memaafkannya” ibu melanjutkan kata-katanya.
          “Apakah ibu tidak sakit hati diperlakukan seperti ini?”
            Ibu tersenyum “Selalu ada balasan untuk orang-orang yang bersabar, Amelia. Kamu harus tahu itu”
            “Amel terlalu sakit, bu”
            “Ia tetap ayahmu, ia tetap walimu ketika kamu menikah” kali ini ibu benar-benar berhasil membujukkku untuk memafkan lelaki itu. “Tinggalah dengan ayahmu” ibu memohon.
            “Aku mau sama ibu”
            “Bersabarlah, ibu akan menjemputmu” ibu mencoba merayuku. “Tak akan lama Amelia”
            “Janji ibu akan kembali?” ibu mengangguk berat.
            ”Amel akan selalu merindukan ibu”
Sejak saat itu aku tak pernah bertemu dengan ibu, walaupun hanya dalam mimpi-mimpi itu. Ia terlalu tegar untuk menghadapi semua ini bersamaku. Bahkan ia tak pernah lagi bertanya bagaimana kabarku. Ia seakan sengaja pergi dan menghindar dari semuanya, termasuk menghindar dariku.
Aku lebih memilih untuk melanjutkan hidupku sendiri, mencari jati diri dan belajar menerima, aku memperhatikan setiap detik perkembangan mereka. Aku selalu tahu bagaimana kabar baik dan buruk ayah dan wanita itu serta anaknya yang lucu. Tapi aku tak pernah tahu bagaimana nasib ibu, tak ada satu pun keluarga yang memberitahuku.
“Kau tahu, Al. Semua terlalu cepat berlalu, bahkan saat aku belum sempat untuk berfikir. Saat aku bimbang dengan hatiku sendiri” aku mencoba menahan tangis, menarik nafas panjang, seakan aku sudah bosan dengan hidup ini.
“Termasuk mengapa kamu begitu membenci semua lelaki?” ia bertanya sinis.
“Tapi aku tak membencimu, Al” aku mendekatinya, mencium aroma tubuhnya. Mungkin ini yang terakhir. “Selalu ada maaf untuk orang-orang baik, selalu ada balasan untuk orang yang bersabar. Terimakasih karena kau mau terus bersabar”
“Karena aku tahu betapa sakitnya hatimu, aku bertahan agar kita saling menguatkan” ia tersenyum getir. “Terimakasih karena kau tak pernah membenciku, Mel” ia melanjutkan kalimatnya.
“Terimakasih sudah mau terus membantuku” aku memeluknya lembut.
“Kau tidak ingin melihat adikmu itu?” ia hati-hati mengucapkan kalimat itu.
“Aku masih belum bisa terima, Al” aku menahan tangisan itu “Masih terlalu sakit, aku masih belum bisa hidup dengan lebih realistis tapi aku belum mampu”
“Kau harus mampu Amelia. Aku akan terus menemanimu” ia menarik nafas “Kau harus bisa menerima takdir ini, Amelia. Semua ini cobaan agar kau lebih kuat”
“Namanya Aqila, sekarang usianya 4. Lucu dan menggemaskan” aku tersenyum getir “Ia mirip denganku, aku hanya berani melihatnya dari jauh. Aku tak berani mendekat. Aku takut, terlalu sakit melihatnya, Al. Aku melihat ayah menggendongnya, memeluknya dan menatapnya penuh kasih, sama seperti dulu ia memelukku. Ada kenangan yang tersisa dirumah itu, masih terlalu sakit untuk mengenangnya”
“Ayahmu merindukanmu, Mel” ia menatapku iba.
“Aku juga merindukan ayah, tapi aku terlalu sakit untuk menahan rasa kecewa itu”
“Sudah hampir 7tahun Amelia, harusnya kau bisa memaafkan”
“Hatiku sudah memaafkan tapi fisikku belum mampu melangkah kesana”
“Melangkahlah kesana, temui ayahmu”
Air mataku tak lagi sanggup aku bendung, tanggul itu seakan jebol. Aku menangis menahan rindu yang terlalu dalam, rindu yang tak terbalas, rindu yang menghujam bertahan beribu detik lamanya, jiwaku terlalu kecil untuk memaafkan. Aku terlalu kerdil untuk menerima kenyataan. Aku tak bisa menahan egoku, padahal rindu itu terus membatu.
***
Cirebon, 28 November 2010
Aku malu-malu melangkahkan kakiku ke tempat itu, aku sangat canggung. Wanita aneh itu mendekatiku, tapi ia mengurungkannya ia lebih memeilih membalikkan badannya, kembali kedalam rumah. Usianya hanya terpaut 9 tahun dariku, ia lebih pantas menjadi kakakku bukan ibu tiriku. Jujur saja ia cantik, wajahnya menenangkan. Ia selalu bisa menjadi orang yang menyenangkan. Mungki inilah sebabnya mengapa ia berhasil mengalihkan dunia ayahku, berhasil menjauhkanku dengan ayahku sendiri.
“Ameliaaaaaa” Ayah yang melihatku dengan berlari memelukku, ia menangis. Lihat ayah menangis sambil memelukku. Aku balik memeluknya.
“Ayah sehat kan? Ayah ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum vitamin itu kan, yah? Ayah lihat, sekarang Amelia sudah besar. Sekarang Amelia sudah bekerja ayah, ayah lihat kan Amelia semakin cantik tak kalah cantik dari Arini” aku memecahkan keheningan itu. Bahkan ayah tak marah saat aku menyebut nama wanita itu.
“Amelia kemana saja? Amelia tak rindu pada ayah? Ayah mencari Amelia kemana saja, ayah tanya pada semua teman tapi tak ada yang tahu. Ayah merindukanmu, Nak” ia memelukku semakin erat.
“Maafkan Amel, yah. Amel sibuk beberapa waktu terakhir” aku menahan perasaan itu, aku tak boleh lagi mendendam. Amel sibuk menata hati, yah. “Ayah belum jawab pertanyaan Amel. Ayah sehat kan? Ayah ngga pernah telat makan kan? Ayah ngga pernah lupa minum vitamin itu kan, yah?” aku mengulangi pertanyaan itu lagi.
Ayah tersenyum, gurat wajahnya terlihat jelas, ia semakin menua tak segagah dulu. “Ayah selalu sehat, hanya hati ayah yang sedikit sakit karena menahana rindu tak terkira ini padamu”. Seorang anak kecil menghampiri ayah, usianya 4. Wajahnya lucu sekali ia menarik tanganku.
“Ini pasti Aqila” aku menebaknya asal. Ayah mengangguk,tersenyum tipis. “Aqila lucu sekali ya ayah, pasti gadis mungil ini yang membuat ayah tak pernah kembali”
“Ayah selalu kembali kesana Amel, ayah tak pernah pergi. Tapi ayah tak pernah menemukan siapapun. Rumah itu selalu kosong tapi tak pernah kotor”
“Mungkin saat itu Amel sedang pergi keluar kota” aku berbohong. Padahal aku meninggalkan rumah itu, mencari kehidupan baru.
“Ayah mengerti, Amel pasti menyibukkan diri. Melepaskan semua luka itu, ayah mengerti Amel”
“Arini mana yah?” aku mengalihkan pembicaraan.”Amel ingin pamit, Amel ingin pulang”
Ia didalam, mengapa kau buru-buru sekali Amelia. Bahkan kau belum duduk, kau belum bermain dengan Aqila. Harusnya kau bercerita banyak pada ayah, tentang kuliahmu, beasiswamu dan tentang lelaki yang akan meminangmu, ayah tak sabar ingin melihatmu menikah Amelia” ayah mengucapkannnya dengan nada kecewa.
“Amelia masih ada urusan lain ayah, urusan kantor. Amel hanya ingin mengetahui keadaan ayah, Amel ingin ayah selalu baik-baik saja” ayah menatapku lekat sekali “Amel janji yah, Amel akan kembali” aku memeluk ayah lalu berlalu tanpa berpamitan pada Arini, ibu tiriku itu.
***
Kebahagiaan terus menghampiri, aku mulai bisa menerima setiap keadaan, setiap kenyataan yang berlalu. Semua ini bukan dibayar dengan harga yang gratis, ada air mata , ada kecewa, ada luka yang tiada tara. Namun semua berakhir indah.
Pagi itu, ponselku berdering berkali-kali. Aku masih enggan untuk menerima telpon itu. Mungkin ini sudah yang ketiga puluh kali.
“Selamat pagi, dengan Amelia Novarini, ada yang bisa dibantu?” ucapku membuka pembicaraan.
“Amel ini ibu nak” suara diseberang sana membuat mataku benar-benar terbuka.
“Ibu...” aku setengah berteriak. “Ibu apa kabar?  Ibu dimana sekarang? Ibu sehat?” aku bertanya, melepaskan sedikit rindu.
“Ibu baik, saat ini juga bisakah kamu berangkat ke Cirebon sayang? Ibu akan segera menyusul, sebentar lagi ibu tiba disana” ibu sedikit memaksa.
“Iya bu, Amel berangkat” Aku bergegas menutup menuju Cirebon.

Cirebon, 24 Maret 2013
            Rumah itu dipenuhi banyak peziarah, bendera kuning berkibar dengan gagahnya. Hatiku berdegup hebat. Siapa yang meninggal? Ibu berlari kearahku, memelukku erat.
            “Kenapa bu?”
            “Esok hari, kau harus bisa memaafkan. Banyak hal tak terduga hadir dalam dunia ini” ia menelan ludah. “Mulai besok, ibu akan kembali ke rumah bersama Aqila”
            “Ayah?”
            “Ayah pergi bersama Arini”
            “Kemana?”
            “Pergi jauh Amel, mereka kembali pada Sang Pencipta”
            Air mata itu tiba-tiba mengalir deras, seakan aku tak ikhlas “Kenapa ayah juga harus pergi, Bu? Kenapa tidak Arini saja!” aku mencari sosok ayah yang telah terbujur kaku. “Harusnya waktu itu ayah minta Amel tetap disini, biar Amel bisa urus ayah” aku kembali menahan air mata itu “Harusnya ayah tak perlu menikahi wanita itu, harusnya waktu itu Amel saja yang mati bukan ayah” mulutku berceracau tak karuan.
            “Bukankah kau Amelia Novarini, wanita yang memiliki hati yang tulus? Wanita yang selalu bisa memaafkan? Bukankah kau Amelia Novarini gadis yang tak pernah menyerah? Bukankah kau Amelia Novarini, malaikat kecil ibu yang memiliki sejuta maaf, sejuta senyum, sejuta bahagia tapi nol iri, nol benci, dan nol dendam. Berhentilah membenci ayahmu nak, biarkan ia pergi dengan tenang. Biarkan ia bahagia disana, disini kita tak bisa membahagiakannya nak, ikhlaskan dan relakan ya. Jangan simpan dendam itu”
            Aku masih diam mencerna apa yang baru saja ibu katakan “Apa ibu sudah memafkan mereka bu?” aku bertanya getir.
            “Ibu sudah memaafkan, kan Amel sendiri yang menyuruh ibu untuk menjadi jiwa yang pemaaf” Ibu tersenyum lalu memelukku.
            Tak ada satupun yang tahu kapan ia kembali tapi bagaimana proses kita kembali adalah tanda tanya. Jadilah pribadi yang selalu memaafkan, menjadi pribadi yang  pemaaf nol iri nol benci dan nol dendan, tebar benih kebahagiaan dimanapun berada, jangan pernah ikut campur yang bukan urusan kita atau kau akan menjadi orang yang hobbynya menggunjing dan memfitnah. Sesakit apapun kematian adalah akhir segalanya. Maafkan dan ikhlaskan mereka yang telah pergi.


Deevika
Bekasi, 15 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...