Tak
terkira dekapanmu adalah hal terindah yang pernah kudapatkan.
Takkan
rela melepasmu walau dihadapanmu ku akan terus menangis... Bahagia.
*seventeen-hal terindah
Lagu itu terus
mengalun bersama kebahagiaan tak terkira ini. Kebahagiaan tak terduga, kebahagiaan
yang sempat tertunda dan kebahagiaan yang sempat sia-sia begitu saja. Namun
kini kehadirannya memberikan warna baru yang jauh membahagiakan dalam hal
apapun. Aku tak akan pernah pergi.
Kebahagiaan
itu tak pernah merangkak untuk pergi tapi ia akan berlari ketika menghampiri.
Ia tak perlu dikejar namun biarkan ia datang dengan sendirinya. Sama ketika
untuk kesempatan terbaik ini aku mengenalimu kembali. Kamu yang sempat hilang
tanpa kabar. Bertahun-tahun namun hatiku takkan pernah berubah walaupun kamu
tak lagi mengenalku. Kesempatan baik itu selalu datang pada mereka yang selalu
berusaha tak pernah lelah mencoba mamperbaiki semua yang kelam.
Hingga saat itu tiba, saat Tuhan dengan kasih dan
sayang-Nya mengulurkan tangan-Nya dengan cara yang begitu indah. Dengan cara
yang tak terduga dengan hati yang tak lagi terlalu berharap. Banyak kata yang
tak mampu terungkap.
“JANI” teriak seseorang memanggil
namaku, namun aku tak melihat siapapun dipesta ini. Aku masih mencari. Tak lama
seseorang melambaikan tangannya ke arahku. Aku tersenyum lebar. Ia perempuan
baik hati, Arini.
“ Arini. Kangen banget sama kamu. Udah
lama banget ya kita nggak ketemu” jawabku sambil memeluk erat tubuhnya.
Ia tampak berfikir, mungkin
mengingat-ingat sesuatu. “ 7 tahun , Jani. Selama itu kita nggak ketemu.
Akhirnya kita ketemu ditempat ini. Benar-benar tak terduga” jawabnya dengan
mata berbinar-binar.
“Really miss you. Really miss your
brother” jawabku sekenanya.
“Masih aja deh kamu ,Jani” ia
terkekeh geli.
“Namanya juga cinta” aku cengar-cengir sendiri.
“Masih berharap?” kali ini wajah
Arini berubah serius.
Aku mengangguk yakin, selama ini
aku memang hanya menanti sosoknya. Sosok yang bisa melindungiku tanpa harus aku
memintanya. Ia tak pernah lenyap dari doaku dalam setiap sujudku dalam setiap
derai air mataku, dalam setiap langkah perjuanganku dirinya adalah motivasiku.
Walaupun aku tahu semua takkan pernah seindah mimpi dan imajinasiku. Namun, aku
tetap berusaha menjadikan diriku yang terbaik. Aku tak peduli sesakit apapun
masa lalu itu. Ia hanyalah bagian dari mimpi , imajinasi dan mungkin –masa
depanku-.
Ia satu-satunya lelaki yang mampu
membuatku terus mempertahankan namanya dalam jutaan detik yang terlewat. Dalam
ribuan kilo jalan yang ku tempuh, hanya ada dia. Walaupun aku pernah menjalin
hubungan dengan seseorang hanyalah dirinya yang bersemayam dijiwa ini.
“Dia udah nikah? “ aku bertanya
ragu-ragu.
“Belum sayang, dia belum nikah. Mau
daftar?” jawabnya terkekeh geli.
Aku hanya tersipu. “Daftarnya
kemana ya?” aku balik meledeknya.
“Ke aku boleh kok ,Jan.” Arini
menjawab serius.
“Nanti kita bicarakan lagi ya.
Lagipula kakakmu itu belum tentu mau denganku” Aku menjawab apa adanya.
“Lagipula aku masih mau mikir-mikir dulu ya”
“Masih teringat peristiwa 5 tahun
yang lalu ya?” Ia bertanya dengan sangat hati-hati.
Sejujurnya memang aku merasa
seperti itu. Rasa dimana aku tak pernah tau mengapa tak pernah ada kesempatan
untuk menjelaskan semuanya. Saat aku sendiri tak pernah tahu tentang apa itu
cinta, tentang betapa perihnya ditinggalkan mereka yang kita cintai. Aku hanya
punya emosi, dimana aku tak pernah bisa tanpa bayangnya. Namun , kini aku
begitu memahami rasa ini bukan hanya emosi. Jika ini hanyalah emosi seharusnya
rasa ini telah hilang bersama menghilangnya dirinya.
“Maaf
yaa” Ia terbata-bata mengucap kata itu. Aku hanya menggeleng ringan.
“Itu hanya masa lalu, Arini. Tak
ada yang perlu dimaafkan, karena memang tak ada yang salah. Hanya kesempatan
yang belum berpihak atau mungkin malah enggan menghampiri” Aku menelan ludah,
sedikit sesak mengungkapkan apa yang sebenarnya tak pernah ingin dibahas lagi.
“Arini, bagaimana pun caranya, sesulit apapun jalannya jika aku dan kakakmu
berjodoh maka Tuhan akan memberikan aku padanya, mempersatukan aku dengannya.
Namun, jika aku bukan jodohnya sekuat apapun rasa ini, sejauh apapun aku
mempertahankannya aku tak pernah mungkin bersatu. Kamu harus paham, Arini.
Jodoh itu tak semudah yang dibayangkan” Aku menghela nafas panjang memeluk
tubuh hangatnya.
Setelah berjalan menjauh,
menghindari percakapan yang mungkin akan merobek hati yang pernah hancur,
kemudian dengan perjuangan panjang aku berhasil menatanya kembali. Sebaik atau
seburuk apapun masa lalu ia akan kalah dengan masa depan. Masa lalu tak akan
pernah bisa diperbaiki, berbeda dengan masa depan yang masih bisa direncanakan
, diperbaiki bahkan diubah.
“Arin , aku pulang duluan yaa” Aku
berpamitan pada Arini.
“Hati-hati
ya” ucapnya riang. “Main ke rumah, kita selalu menunggu kamu” lanjutnya sambil
memelukku.
Aku membisu mensyukuri apa yang terjadi hari ini, setelah
sekian lama tak pernah ada cerita, hari ini dengan keindahan yang Tuhan berikan
aku kembali bertemu dengannya. Memang bukan dengannya secara langsung, melalui
perantaraan. Namun inilah yang disebut kuasa Tuhan, dengan cara yang indah
Tuhan kembali mempertemukan aku dengannya.
“Kau
tahu? Berapa detik aku menunggumu? Menunggumu tanpa kepastian dan penjelasan?”
aku meracau tak karuan. Kesal karena aku dibilang tidak setia. Ia hanya terdiam
lalu memelukku erat, erat sekali hingga aku sulit bernafas.
“Harusnya dulu aku tak pernah
meninggalkanmu, walau hanya sejengkal dalam hidup ini. Kau terlalu indah untuk
dilepaskan. Berjanjilah untuk terus bersamaku, aku janji aku akan menjadi yang
terbaik untukmu, aku akan menebus waktu yang pernah tersita untuk menungguku,
untuk hati yang tak pernah berpaling, untuk hatimu yang tak pernah lelah
menungguku, untuk hati yang selalu ikhlas mendoakanku. Untuk hati yang rela
terluka untuk bahagia. Aku mencintaimu mulai hari ini dan seterusnya” ia
menjawab panjang sambil mencium keningku.
“Aku selalu ada untukmu, aku selalu
menyertakanu dalam setiap doa yang tak pernah putus. Dalam bahagia yang tak
pernah terkira, aku selalu mendoakanmu bahagia. Walaupun aku amat tersiksa
hanya dapat hidup bersama mimpi tentangmu, tentang angan yang tak pernah
sampai. Tapi aku selalu berdoa, aku ingin bertemu denganmu lagi sebelum ajal
menjemputku. Kau adalah kekuatan saat aku sendiri meragukan kekuatan itu. Hanya
membayangkan dirimu, aku mampu bertahan sampai saat ini” aku menarik nafas
panjang “Aku selalu tahu kabar tentangmu, bahkan aku tahu saat kau merasa
sakit, aku tahu itu. Aku juga merasakannya, jauh sebelum kita tak pernah berjumpa
5tahun lamanya aku selalu meminta agar Tuhan menitipkan hatimu padaku agar aku
tahu kapan aku harus kembali lagi padamu, mungkin kali ini terlambat. Aku
terlalu lama berfikir”
“Harusnya aku kembali kepadamu
dengan hati yang masih utuh. Tidak hancur seperti ini”
“Aku tak pernah meminta hatimu utuh
untukku, aku hanya ingin hidup bersamamu. Hari ini dan seterusnya. Walaupun
kita tidak berjodoh, aku ikhlas. Beri aku waktu untuk menebus kebahagiaan yang
tersita” aku memeluknya erat.
***
Tepat
5 tahun lalu, Juli 2007. Aku terdiam
menatap sebuah foto dalam genggaman tangan salah seorang kawan, entah mengapa
aku begitu terpesona dengan foto itu. Ya, foto seorang lelaki yang aku sendri
belum tahu identitasnya.
“Apa Jani?” ledek temanku yang
mememgang foto itu.
“Itu siapa?” Tanyaku malu-malu.
“Itu sepupu aku” Jawabnya lembut.
“Lucu ya” aku berkomentar kagum.
“Nanti aku kenalkan” ia berjanji
sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum riang. Hatiku berbunga-bunga
menunggu pertemuan singkat itu walaupun aku tak tahu bagaimanakah orang itu
tapi jantungku terus berdetak cepat dan terus meningkat kecepatannya.
Karena
aku mencintaimu dan hatiku hanya untukmu
Ponselku berdering tanda ada
panggilan masuk. Aku tak mengenal nomor itu, aku abaikan saja panggilan itu.
Tapi ponselku terus berdering. Tiba-tiba ada tanda sms masuk.
1 messeage. Received
Gilang
Jani,
itu tadi yang telp lo sepupu gue.
Kenapa
ngga diangkat?
Aku menggaruk kepala yang tidak
gatal, tersenyum sendiri. Langsung saja aku balas pesan itu tanpa harus
berfikir berulang kali, rasa ini berbeda pasti ini yang disebut cinta. Ohh My God.
Sent
.
Gilang
Maaf
gue ngga tahu, nanti gue sms deh ya. Thx
Belum sempat aku mengirim pesan pada
sepupu Gilang , ia sudah terlebih dahulu mengirimkan pesan kepadaku. Ia
mengenalkan dirinya, bertanya kabarku, menceritakan sahabatnya, aktivitasnya
disekolah, ia menceritakan semuanya. Ia bertanya tentang aktivitasku, prestasi
akademikku, kesibukkanku antara sekolah – rumah sakit – tempat kursus. Aku pun
menceritakan semuanya.
Pertemuan singkat itu akhirnya
terjadi, tak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Indah! Sangat indah. Andai
bisa aku lukiskan mungkin jutaan bintang sudah menari di atas kepalaku mungkin
pelangi pun enggan pergi dari kamar fikirku. Terus bersemayam hingga batas
waktu yang tak akan pernah berakhir.
Kami saling pandang, saling mencuri
pandang malu-malu untuk saling melihat. Getaran itu semakin kuat. Aku mencoba
memejamkan mata, mengartikan rasa apa dihati ini.
“Pasti Gilang cerita yang aneh-aneh
deh sama Kak Chino” aku berceloteh manja.
“Ya gitu deh” ia menjawab singkat.
Meledek
“Ah.. Kak Chino ngga asik” aku
mengeluh sebal.
“Kamu ngga seperti yang Gilang
katakan. Kata Gilang kamu itu pendiam tapi ternyata berisik ya kalau sudah
kenal” ia mencubit pipiku.
“Waktu merubah segala hal ka, waktu
menjadikan kita menua tapi tidak menjadikan aku lebih bijaksana”
“Kakak ngga tahu kenapa kakak bisa
bahagia banget kalau dekat kamu. Kakak nyaman, kakak bisa tertawa lepas bahkan
setelah kakak sampai dirumah kakak hanya memikirkan kamu” ia mengucapkannya
serius kalimatnya itu matanya seoalah ikut berbicara. “Aku mencintaimu”
“Aku selalu bahagia bersama orang
yang menyayangiku” aku hanya membatin. Menatap lekat wajahnya, aku tak mau ia
pergi walau hanya sejengkal. “Aku masih terlalu kecil untuk mengerti tentang
cinta ka”
“Kita akan mengerti setelah kita
menjalaninya bersama” ia memaksa.
“Belum waktunya kak Chino, terlalu
cepat. Aku baru 13 dan kakak 17. Belum waktunya untukku, ini saatnya aku mengejar
mimpi-mimpi yang belum tuntas” aku mempertahankan jawabanku.
Sejak saat itu ia tak lagi
menghubungiku, tak ada lagi kabar tentangnya. Ia bagai ditelan bumi menghilang
tanpa jejak. Aku beruntung aku mengenal adiknya, Arini. Kami masih terus
berkomunikasi, tapi hanya berjalan begitu cepat. 2 bulan kemudian ia ikut
menghilang. Hatiku makin membeku, tak pernah lagi aku merasakan getaran itu.
Semua terasa begitu datar.
Aku terus menunggunya, tahun pertama
luka itu tersimpan jelas. Aku terus berdoa, aku hanya ingin bertemu dengannya,
lalu aku bilang bahwa aku mencintainya, sudah itu saja. Tapi tahun pertama tak
berjalan mulus, tahun itu aku hanya meminta agar aku dipertemukan dengannya
kembali. Namun aku tak bertemu dengannya.
Tahun kedua tak jauh berbeda dengan
tahun pertama, kali ini aku lebih ikhlas. Aku mencoba tak memaksakan takdir, biar
ia berjalan sebagaimana semestinya. Tahun ini aku berhasil bertemu dengannya,
sayangnya hanya dijalan dengan kondisi ia sedang terburu-buru jadi ya mana
sempat untuk mengatakan semua yang aku rencanakan. Tahun ini doaku bertambah,
aku ingin ia terus bahagia. Aku mendoakan seluruh kebahagiaannya, mendoakan ia
bahagia dengan pasangannya. Ia bahagia selama beberapa tahun, badannya sedikit
berisi. Aku tersenyum bahagia. Tuhan mengabulkan doaku.
Tahun ketiga, aku lebih ikhlas.
Mungkin Tuhan belum mengizinkan kebahagiaan untuk aku bisa bersamanya. Tahun
ini aku mencoba membuka hati, hati yang baru. Aku belajar untuk mencintai lagi,
mencintai orang yang berbeda. Dengan ciri fisik yang serupa, dengan sikap dan
sifat yang begitu mirip. Aku mencoba membahagiakan diriku setelah sekian lama
aku mendoakan kebahagiaan untuk orang yang tak jelas rimbanya.
Pria itu biasa dipanggil Awan, ia
bersahaja, berkharisma, kecil mungil dan lucu sekali. Ia salah satu kebanggaan
sekolah, aku sendiri tidak tahu mengapa ia bisa memilihku untuk dicintai. Ia
begitu energic dan aktif. Ia motivator tehebat dalam hidupku, ia selalu bisa
menyejukkan hatiku.
Hingga suatu hari dipenghujung tahun
2010, aku tak pernah bermimpi apapun. Aku hanya merasakan intensitas
kebahagiaan tak terkira. 16 hari 18 jam 50 menit aku terus berada disampingnya,
mendampinginya kemanapun selagi aku bisa.
“Jaaaannnnnnnnniiiiii” seorang
terman berteriak disertai isak tangis, setengah berlari memelukku.
“Ada apa, April?” aku mencoba
tenang. Ia hanya menangis dibahuku tak mengucap sepatah kata pun, membisu dalam
tangisan.
RECEIVED
Gladis
Jan. Awan udah dtg?
Hatiku semakin tak karuan, mengapa
hari ini semua seakan berbeda, tatapan itu tangisan itu. Semuanya dan semuanya,
semua temanku berlomba-lomba berlari. Aku semakin bingung, tangisan April
semakin menjadi. Aku bingung sejak tadi ia aku tanyai tak menjawab apapun,
tiba-tiba seluruh sekolah menjadi panik. Hari itu hari panik disekolahku.
SENT
Gladis
Belum, kenapa?
RECEIVED
Gladis
Awan kecelakaan di dekat sekolah,
anak-anak pada kesana. Doakan yang terbaik untuknya.
Darahku seakan berhenti mengalir,
tubuhku ikut melemah. Aku balik memeluk erat April. “Jujur aja, Pril” aku
bertanya untuk kesekian kalinya bibirku bergetar, ikut menahan tangis. Ia tetap
tak bergeming. Teman-temanku membuat keputusan sepihak, mereka mengunciku
didalam kelas aku tak boleh ikut bersama mereka.
“Nanti gue kabari” teriak Ari dari
jauh.
“Tetap berdoa, tabah ya, ikhlas”
Ucap Zaid.
Teman yang lain tak henti membaca
pesan yang tak pernah diberitahu kepadaku apa isinya. Aku hanya berdoa. Mereka
sudah mengetahui keadaan Awan, tapi mereka tak memberitahukannya kepadaku.
RECEIVED
Gladis
Jani, yang sabar yaa Sayang.
Awan udah dipanggil sama yang Maha
Kuasa.
Ikhlaskan ya sayang, lo pasti bisa.
Lo kan hebat yaa :D
Keep fight ya
Aku terjatuh dalam pelukan
sahabatku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku memaksa seluruh temanku untuk
menemaniku menemuinya untuk yang terakhir. Aku masih tak percaya, aku
menghubungi temanku berada di tempat kejadian. Bohong itu, Awan baik-baik
aja. Ucap salah satu teman yang berada disana.
Hatiku semakin tak karuan, penasaran
dengan apa yang terjadi. Hari itu, hari terburuk sepanjang hidup baruku,
sepanjang penantianku yang tak berujung, sepanjang aku berjuang membuka hati,
hasilnya seperti ini. Hatiku jauh lebih hancur, lebih jatuh. Remuk redam.
Pada akhirnya aku sendiri untuk
menemui Awan untuk terakhir kali. Aku lihat jasadnya yang tak lagi sempurna. Terimakasih telah menyempurnakan hatiku,
relakan aku menjalani hidup sesuai yang Tuhan gariskan. Bukan aku tak
mencintaimu, tapi aku terlalu rapuh untuk terus mengenang kejadian ini.
Terimakasih untuk 16hari 18jam 50menitnya. Terimaksih untuk kesempatan indah
itu, terimakasih sudah membimbingku kembali membuka hati. Tenang yaa disana.
Aku berbisik pelan ditelinganya, sakit rasanya harus kembali kehilangan. Walaupun
ia tak lagi mendengar semoga ia selalu hidup
dengan kedamaian.
Hatiku kembali dibuat hancur tak
karuan dengan kejadian itu, bagai mimpi. Aku masih sangat tidak percaya. Mengapa takdir cintaku harus sesulit ini.
Mengapa hatiku harus hancur berkeping-keping dahulu, mengapa aku tak langsung
mendapatkan cinta itu? Mengapa? Mengapa Tuhan? Apa salahku hingga Kau
menghukumku dengan cara seperti ini?
Waktu
terus berjalan, tahun keempat aku disibukkan dengan kesedihanku, sibuk menutup
luka yang terbuka begitu hebat. Kehilangan luar biasa tapi harapan itu masih
ada. Aku masih berharap bertemu kembali dengan Kak Chino. Tuhan, sekali saja. Sekali saja Tuhan, aku hanya ingin mengatakan
kepadanya bahwa aku benar-benar menyimpan segala kenangan tentangnya. Aku tak
pernah lupa, Tuhan. Tuhan, sekali saja aku ingin mendengar desah nafasnya.
***
“Masih aja berharap sama Chino, Jan?” wanita paruh baya itu bertanya serius “Chino akan menikah tahun
ini, sebaiknya kau buang harapan itu” ia melanjutkan kalimatnya. Sinis.
“Aku akan mendoakan segala kebaikan
untuknya” senyum getir itu tersungging dari bibirku. “Kebahagiaannya adalah
jalan membuatku bahagia, aku akan bahagia. Doaku tak pernah terhenti untuknya”
aku menarik nafas panjang.
“Dia akan menikah tahun ini” Arini
tiba-tiba datang kemudian mengucapkan kalimat itu.
Air mataku tak sanggup untuk ditahan
“Tahun ini? Dengan siapa?”
“Dengan wanita yang rela menunggunya
bertahun-tahun, wanita itu yang tak pernah meninggalkan Kak Chino walau
sedetikpun, tak pernah membuat kak Chino bersedih” Arini menjawab serius.
“Katakan padanya, aku tak akan
pernah berhenti mendoakannya. Semoga berbahagia selalu, salam untuk ayah dan
Kak Citra juga. Aku selalu merindukan kehangatan dari keluargamu. Pastinya aku
juga akan semakin merindukanmu Arini” aku langsung berlari bahkan aku tak
sempat pamit. Semua begitu terasa menyesakkan dada, seperti terhimpit ditengah
bebatuan. Sesak sekali.
Dada ini terasa sempit, sesakit itu
cinta yang selama ini aku nantikan? Sesakit iini balasan untuk kesetiaanku
menunggunya? Tuhan, bahagiakan dirinya
selalu. Aku lantas berlari menjauh, menjauh dari hidupnya, melupakan semua
mimpi dan imajinasi yang sempat
tersimpan. Memang kini waktunya membuang semua itu jauh-jauh.
Tiba-tiba wanita paruh baya itu mengejarku,
berteriak memanggil-manggilku. Aku tetap melanjutkan berlari dengan hati yang
tak lagi utuh, sebagian dibawanya lari. Intensitas kebahagiaan luar biasa saat
bertemu dengannya harus berakhir seperti ini.
Wanita
itu berhasil mangejarku menenggelamkanku dalam pelukannya “Kau bilang kau akan
mendoakannya bahagia? Mengapa kau malah menangis mendengar kabar itu, Jani? Kau
harus ikhlas ya”.
“Ayah,
ibu, ka Citra, dan Arini juga akan selalu mendoakan kebahagiaan untukmu, Jani,
ibu akan menyampaikan semuanya pada Chino” ia mengghentikan kalimatnya
Ayah
tiba-tiba hadir ditengah keharuan itu, ia menatapku tajam “Anjani, selama kau
tulus mencintai seseorang, kau pun berhak untuk mendapatkan ketulusan itu”
Ka
Citra ikut berlari memelukku, bersama suami dan anaknya ia menghampiriku,
membuat suasana semakin mengharu biru. “Chino hanya ingin menikah dengan wanita
yang rela menunggunya bertahun-tahun dalam penantian panjang, dalam kesempatan
yang tak pernah hadir dan dalam doa yang tak pernah putus”
“Bukankah
kau sendiri yang selalu berkata bahwa hakikat cinta sejati itu melepaskan?”
Chino tiba-tiba mengejutkanku dengan kata-katanya, terdengar sinis.
Aku
hanya menundukkan kepala, menangis sepuasnya tak peduli lagi ada siapa pun
dihadapanku.
“Bukankah
kau sendiri yang mengatakan, jika kau mencintai seseorang lepaskanlah ia. Jika
kau benar-benar ingin bersamanya ambillah dengan cara yang baik” Chino
menatapku tajam. “Bahkan kau sendiri yang seringkali mengatakan kepadaku,
bukankah jodoh itu rahasia? Ia akan menghampirimu dengan cara yang tak pernah
terduga”
“Lepaskan,
ikhlaskan dan tunggu keajaiban itu“ kali ini ibu membuat hatiku semakin tak
karuan.
“Aku
hanya akan menikah dengan wanita yang bisa menerima kekuranganku, yang dapat
menemaniku dalam masa-masa tersulit dalam hidupku, wanita yang menangis
bersamaku bukan menangis karenaku atau aku menangis karenanya, yang rela
menungguku tanpa kepastian kapan aku ada untuknya. Wanita yang selalu
mencintaiku dan keluargaku”
Aku
mengangkat kepalaku, menatap tajam pada mereka yang sejak tadi terkesan
menghakimiku “Jodoh itu memang rahasia dan aku sudah ikhlas apapun keputusan
kalian. Aku menunggumu karena aku tahu kau adalah orang yang selalu pantas
untuk aku tunggu, bukan karena waktu itu kau berada diatas kesuksesanmu”
“Kau
datang saat aku tak bisa mengendalikan hatiku, saat hidupku disibukkan dalam
kekecewaan masa lalu itu. Kemudian kau hadir memberikan semua itu, kau yang
kembali memberiku warna cerah saat hatiku abu-abu. Kau yang selalu menemaniku dalam
masa-masa sulit itu, kita menangis bersama. Bahkan kau yang mampu mengubah
hatiku ketika pertemuan pertama untuk kedua kalinya. Pada hari itu aku tanpa
ragu memutuskan, kaulah yang selama ini aku tunggu” Chino menatapku nanar.
Mereka tersenyum ke arahku.
“Tahun
ini, Chino sudah memutuskan. Ia akan menikahimu, Jani” Mereka serempak
mengucapkan kalimat itu. Hatiku berdesir hebat Ini pasti mimpi.
Aku
terkejut dengan ucapan itu, “Ibu?” lidahku kelu, tubuhku bergetar hebat.
“Ibu
serius Jani”
Air
mata itu tumpah semakin hebat, kesabaran dan keikhlasan itu berbanding lurus.
Aku memeluk mereka erat-erat. Seerat saat aku bertahan dan berjuang
mempertahankan cinta ini. Mereka semua memelukkku menangis bersama, tangisan
bahagia.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar