Jiwaku
sudah jauh terperangkap dalam lembah kesedihan tak terkira, menjerit-jerit
dalam linangan air mata duka. Menatap sendu pada semua ironi kehidupan. Mungkin
tak akan kembali seperti sedia kala namun keyakinan ini membuatku yakin bahwa akan
ada yang lebih baik, bukan sekedar tumpukan imajinasi tapi lebih dari apapun,
apapun yang takkan mudah terlupakan. Kenangan. Begitu aku menyebutnya.
Jauh sudah kaki ini melangkah, menjauh
dari kenyataan getir, pahit serta asam. Namun, semakin menjauh semua itu
semakin telihat semakin nyata. Sejauh apapun aku melupakan ruang diotak ini tak
pernah mampu menghapus secara keseluruhan. Tak pernah ada yang sempurna, selalu
tersisa serpihan kenangan itu.
“Hari ini ayah tak pulang bu?” aku
bertanya pada ibu, melayangkan pandangan keseluruh ruangan.
“Tunggu saja sebentar lagi, tak akan
lama” ibu menjawab sekenanya sambil membereskan tumpukan piring kotor. Aku
mengambil alih pekerjaan itu meminta ibu menyingkir. Sambil memberikan isyarat Biar aku saja ,bu.
“Tak perlu terlalu cemas seperti itu
Rindi” ibu menenangkan hati yang gelisah ini.
“Laut sedang tak bersahabat ibu, aku takut. Perasaanku tak
karuan, berfikir tak tentu dalam sekali sampai dadaku terasa sesak. Aku tak
dapat menghubungi ayah” aku membalikkan badanku, berlari menuju kamar.
Ibu hanya menatapku dari jauh,
walaupun aku tahu sebenarnya ia juga khawatir. Ia terlalu cerdas menyembunyikan
perasaannya itu. Entahlah kesetiaan macam apa yang ia miliki, walaupun aku tahu
ayah diatas kapal sana pada saat berlayar selalu di goda banyak wanita dan
kabar buruknya, ia tergoda.
Entah bagaimana hati itu terbuat,
begitu tulus memafkan bahkan tangan kecil itu selalu memberikan yang terbaik,
senyuman itu tak pernah habis hanya karena semua yang menyakiti hatinya, begitu
mulia. Terkadang aku yang menjerit-jerit sendiri dalam hati, mengutuk semua
yang terjadi. Menyalahkan keadaan, menyalahkan takdir, mungkin juga menyalahkan
Tuhan.
Pandanganku menerawang ke arah
televisi, berita sore itu menyiarkan tentang tenggelamnya sebuah kapal, bukan
hanya tenggelam namun kapal itu juga terbakar. Hangus tak bersisa. Bibirku
mulai bergetar, tangisan itu mulai pecah. Diam-diam ibu berlari ke kamarnya
tanpa suara. Aku berusaha mengejarnya, namun pintu itu sudah terlebih dahulu
tertutup. Aku yakin, ia menangis sejadi-jadinya didalam kamar. Mereka
menghabiskan berpuluh tahun bersama, cinta dan
kesetiaan diuji. Semuanya lulus, tapi mengapa harus seperti ini.
Aku bergegas menuju pusat terjadinya
kecelakaan itu, 7jam dari tempat tinggalku saat ini, menggunakan pesawat super
lambat, jadwal yang terulur jauh dari ontime. Meninggalkan ibu sendirian
dirumah.
“Ibu ikut ya, Nak” matanya berbicara
seperti itu, aku pura-pura tidak tahu, hanya terukir senyum “Ibu, aku
berangkat. Maaf aku tak bisa mengajak ibu, ada tugas setelah aku mencari ayah”
aku coba menjelaskan, lari dari berbagai pertanyaan.
***
Tiba ditempat ini sama saja aku
menghadapi semua luk , semua tangisan tak terkira, jika diperbolehkan aku akan
menangis sekencang-kencangnya banhkan aku siap menjerit dengan suara paling
tinggi. Namun, tujauanku datang kesini bukanlah untuk menangis, aku datang
untuk mencari ayah. Aku harap masih hidup walaupun sudah tak bernyawa lagi aku akan
tetap membawanya pulang. Menguburkan jenazahnya.
Aku
berlari menemui tim evakuasi, mencari informasi sebanyak-banyaknya. Mendekati
satu persatu petugas yang menenakan seragam hitam-hitam. Aku menghampiri
mereka, tak ada yang berhenti mengevakuasi para korban. Meletakkan dibibir
pantai. Tak ada jasad ayah.
Kau
tahu? Aku sudah sangat lama menunggu, lebih dari seminggu namun tak juga ditemukan
jasad itu, hanya angan yang menyelimuti mengharapnya datang kembali, memelukku
erat. Aku bagai dihadapkan pada sebuah tebing besar, aku terus menunggu tanpa
lelah hingga akhirnya seseorang datang dari tengah laut seusai memencing ikan.
“Kenapa
pak? Kok cemberut gitu?” tanyaku hati-hati.
“Ini
dik, saya mau carikan kok malah dapat sendal jepit butut” ia menggerutu sambil
memperlihatkan hasil tangkapannya. Aku tertegun, itu sandal ayah. Sandal yang
selalu mengikuti langkahnya kemanapun. Aku menangis. Memutuskan kembali ke
rumah. Pulang.
***
Berkali-kali
aku mencoba mengakhiri hidupku, mencoba untuk Pulang. Aku membuat luka baru, membuat garis lurus tepat di
pergelangan tanganku. Aku terlalu lelah
tanpa ayah disini, aku terbiasa menyelesaikan semua hal dengannya. Kini ia
sudah kembali aku hanya bisa
menahannya, menahan dalam tangisan. Dalam sesak yang tiada bertepi.
“Rindiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii....”
ibu berteriak sebelum aku menggoreskan luka dilenganku, melemparkan pisau yang
berada ditangan kiriku, memelukkku erat. “Jangan seperti ini, nak. Jangan
membuat ibu semakin sedih. Cukup ayah yang meninggalkan ibu, jangan kamu, nak.
Ibu tak akan senggup” ia menangis terisak-isak hingga aku mendengar nafasnya
yang tak teratur itu.
“Ibu
maafkan Rindi, Rindi nggak kuat bu” aku mengeluh pasrah.
“Kamu
tak boleh bicara seperti itu, orang hidup itu harus kuat. Hidup itu harus
banyak berjuang bukan mengeluh seperti ini.Allah benci Rindi, Allah benci hamba-Nya
yang selalu berputus asa. Kamu boleh berduka, tapi jangan terlalu lama, agama
pun tak mengizinkannya” ibu mendekatiku, menjauhkan pisau itu dari jangkauan tanganku. Takut-takut aku
akan kembali mengambilnya. “Ibu memang tak seperti ayah yang selalu bisa
mendengarkan ceritamu, mulai hari ini kamu harus belajar semuanya. Belajar
menghadapi kenyataan. Hidup itu tak selalu mudah, tapi jug atak melulu sulit.
Percayalah nak, selalu ada kemudahan setelah kesulitan. Serahkan semunya pada
Allah nak, kamu boleh curhat masalah
apapun. Allah akan memberikan jalan keluarnya”
“Ibu,
seharusnya aku bisa bantu ibu. Bukan menyusahkan ibu seperti ini. Aku bisa saja
berhenti kuliah agar ibu tak perlu bersusah payah bekerja seperti ini” aku memeluknya erat.
“Tak
perlu, Nak. Ibu harus mencari jalan agar kamu bisa terus belajar” ibu membalas
pelukanku. Erat sekali.
“Ibu
kan tak boleh lelah” aku memperkuat alasanku untuk meninggalkan bangku kuliah
itu. Ibu menggeleng mantap.
“Ibu
takkan lelah selama kamu tetap semangat” matanya menatapku penuh harapan.
“Jangan ulangi lagi ya” aku mengangguk, berjanji.
***
“Oh
ternyata kamu punya jimat ya Rindi” Reza teman sekelasku mengolok-olokku. Aku
hanya diam, awalnya tak peduli.
“Pantas
saja nilainya selalu baik, minta wangsit dari sandal jepit butut itu ternyata”
taman yang lain ikut mengolok-olok juga.
Mungkin
hari ini memang kesialan menimpaku, aku tak sengaja membawa sandal jepit itu.
Terbawa saat aku terburu-buru menuju kampus. Seharusnya sandal ini ditinggal saja. Aku menggerutu sendiri.
“Tuh
kan benar, dia diam aja. Berarti benar kan dugaan kita” teman yang lain
mengompori. “Si Rindi kan sering banget lihat itu sandal. Butut aja sering
banget dilihatnya. Mungkin ada benarnya juga. Itu sandal ada jimatnya” mulutnya
tak berhenti mengucapkan kalimat yang tak jelas itu. Menghina terus.
“Heh,
kalu nggak tahu apa-apa nggak usah terlalu banyak bicara. Urus saja yang
menjadi urusanmu. Jangan mencampuri yang tak bukan milikmu” aku membentaknya.
Mereka terdiam.
***
Sisa-sisa
perjuangan itu semakin terasa saat aku melihat sandal jepit butut yang kini aku
gantung dikamarku. Aku merasa aku tak ada apa-apanya dibanding ayah. Ia adalah
pekerja keras. Perjuangan yang hebat. Sandal jepit ini bukan jimat atau apapun
itu namanya. Aku menjadikannya semangat dalam hidup ini.
Semua
tergores dari bagaimana bentuk sandal ini pada saat ditemukan, semangat
perjuangan yang selalu ada. Untuk menghidupi keluarga ini. Bukan sekedar
imajinasi ataupun mimpi. Ini nyata tentang bagaimana seorang ayah menghidupi
keluarganya.
Sandal
itu selalu akau pandangi lekat-lekat sebelum aku tertidur, sambil membayangkan
wajah ayah. Ahh andai saja, tapi aku akan
tetap berjuang untukmu. Rindu ini tak pernah habis untuknya. Rindu yang
membuatku semangat menjalani apapun yang terbaik. Rindu yang menjadikanku
mengenal bagaimana ia bekerja keras.
Rindu
melihat wajahnya, jenazahnya tak pernah ditemukan. Tak ada fotonya selembar
atau dua lembar, kalaupun ada itu hanya dikartu
identitas, itupun sudah hilang mungkin tenggelam dilautan. Tak ada prosesi
pemakaman. Hanya ada doa yang tercurah. Doa yang tak pernah putus. Hanya bisa
mengira bagaimana senyumnya. Tersimpan dalam kenangan. Rindu ini semangat
perjuanganku.
***
Deevika Rinjani
Bekasi, 31 Mei 2013