“Putri...” teriakku kala itu.
Gadis
kecil dengan tas sekolah dan seragam super rapi mendekatiku. Ia tersenyum
malu-malu. Berlari saat namanya disebut dengan lantang, ada bahagia disana.
“Apa
mba?” ia mengulurkan tangannya. Kami bersalaman.
“Mba,
aku udah boleh sekolah lagi sama ibu. Kata ibu aku ngga perlu mengamen” ia
bercerita dengan mata yang berbinar.
“Iyakah?”
aku pura-pura tak percaya.
“Lihat
dong sekarang aku udah pakai baju seragam lengkap, tasnya juga baru. Sekarang
ibu jadi baik banget loh mba”
Lalu
kami berhambur, saling berpelukan. Alhamdulillah, terimakasih Allah.
***
Gadis
kecil itu berlari mendekati setiap angkot yang berhenti di depan matanya,
kemudian mulai bernyanyi. Duduk didepan pintu sambil membawa sebuah botol yang
diisi beras.
Aku
yang dulu bukanlah yang sekarang...
Gadis kecil itu bernyanyi
sembarangan, nadanya sama sekali tak cocok dengan ketukan irama musik yang ia
mainkan..
Ia mengenakan jilbab mungil
dikepalanya, bajunya panjang. Ngga
jelek-jelek banget. Batinku kala itu.
Ia mulai mengedarkan amplop untuk
diisi uang oleh orang yang berada diangkot itu. Aku masih asik dengan buku yang
ada di genggaman tanganku, urung diberikan amplop.
Maka tibalah aku disebuah mall.
Ternyata pengamen kecil itu juga ikut turun. Aku bergegas menuju sebuah toko
buku tempatku bekerja. Ternyata ia juga mengikutiku.
“Mba kerja di salemba?” ia bertanya.
Sambil memperhatikan seragam yang aku kenakan. Kemeja merah dengan rok hitam
selutut lengkap dengan highheels.
Aku hanya mengangguk pelan,
meninggalkannya dibelakang.
Aku tergesa-gesa memasuki toko,
setengah berlari sambil menguncir rambut. Setengah melirik jam di depan
penitipan barang. Yes belum telat.
“Tumben lo telat” Mala menegur
sambil menyapu lantai kasir.
“Iya kesiangan” aku menjawab sambil
berlari.
“Yaudah cepat, gue belum nimbang
plastik” ia lagi-lagi berteriak.
Aku hanya mengacungkan jempol
kananku.
Aku mempercepat langkah menuju ruang
kerjaku, semoga kepala bagian belum datang.
“Tumben Zee baru datang” bu Yuni
menegurku.
“Iya bu maaf telat” jawabku sambil
menyodorkan kartu absen padanya.
“Nanti jam 10 datang barang ya,
jangan lupa buat General record” ia menjelaskan sambil menghitung uang dipetty
cash.
“Pipit mana bu?” aku balik bertanya.
“Masuk siang” jawabnya sambil
membenarkan sepatunya “oh iya Zee, kan ibu mau ke pusat. Nanti kamu yang atur
toko ya”
“Berarti aku lembur?”
“Iya”
jawabnya lagi sambil memberikan kunci petty cash. “Seperti biasa ya, ibu ke
pusat dulu” ia keluar dari ruangan.
“oh
iya Zee, returnya jangan lupa”ujarnya sambil balik kanan.
“Iya
bu”
***
Tepat pukul 10:00 tim ekspedisi
datang dengan membawa puluhan kardus. Aku menyiapkan buku yang biasa digunakan
lengkap dengan stempelnya. Serta retur penjualan beberapa waktu lalu.
“halo pak, sehat?” sapaku pada pak
Sugeng. Kepala ekspedisi.
“Alhamdulillah”
jawabnya singkat, kumisnya bergoyang-goyang.
“Banyak
pak barangnya?” aku bertanya sambil memeriksa form serah terima barang.
“Sedikit.
Ada 50 kardus deh pokoknya”
Aku
mengambil troli kecil untuk mengambil barang didepan, saat itu toko tempatku
bekerja berada di belakang sehingga harus menggunakan troli ini.
“Je, bantu gue” aku berteriak.
“Apa si Zee?” Jeje menggaruk
kepalanya.
“Itu sama mas Dwi ambil barang
didepan” aku menyodorkan troli.
Aku masih sibuk memeriksa form,
sambil mencatatnya dibuku khusus.
“oh iya pak, pengiriman yang kemarin
itu ada yang cacat. Jadi retur deh. Titip ya pak buat pak Joko” aku menyerahkan
lembar retur penjualan. Ia menerimanya sambil tersenyum.
“Oh iya, mba lihat anak kecil yang
suka mengamen didepan sana ngga?” matanya mencari.
“Yang mana pak?”
“Itu loh yang pakai kerudung, 6
tahunan deh umurnya”
“Loh, bapak kenal sama dia?” aku
berhenti menulis.
“ya kenal mba, dia kan sering
kesini”
“Loh? Emang ya?”
“Mba keseringan diruangan sih.
Gimana mau kenal orang” pak sugeng tertawa pelan.
“Tapi tadi pagi dia ngikutin saya
pak, saya jadi takut. Kabur deh” aku ikut tertawa.
“Apa Zee? Lo kabur gara-gara diikuti
sama pengamen kecil itu?” Mala bertanya penasaran, sedikit meledek.
“Ya abis gimana, kan gue ngeri”
***
Namanya Putri, hari ini usianya
tepat 8 tahun. Duduk dikelas 2 SD. Mengamen sejak masuk sekolah dasar.
Sebenarnya sang ayah masih ada, penghasilannya pun bisa dibilang cukup. Entah
mengapa sang ibu, menyuruhnya untuk mengamen. Mencari logam-logam kehidupan.
“Mba Zee, aku kan ulangtahun”
ucapnya sambil menghitung logam-logam yang ada ditasnya.
“Oh ya?”
“Iya mba, tapi nggak dirayakan”
keluhnya.
“Itu kan dapat uang banyak, Put” aku
pura-pura mengintip tasnya.
“Ini buat mama” ia memajukan
bibirnya.
“Loh kok? Nggak buat ayah?” aku
penasaran.
“Bapakku kan kerja mba, aku juga
sering dikasih uang sama bapak”
“Berapa?”
“Sepuluh ribu, mba”
“Hah?” jujur saja aku kaget sekali. Aku
menelan ludah, nilai itu sama seperti dua kali uang jajanku pada saat duduk
dikelas 3 SMK. “Kan udah banyak dikasih sama bapak. Kenapa masih ngamen?”
“Disuruh mama”
Ada sesak tak terkira saat anak
kecil itu mengungkapkan sesuatu yang sangat diluar nalarku. Seharusnya gadis
kecil itu takperlu mengamen. Uang jajannya sudah lebih dari cukup. Lalu mengapa
sampai harus mengamen.
***
Pagi itu aku melihat Putri
bergandengan dengan anak kecil yang jika kutebak umurnya masih 4 tahun. Ia
menggangdengnya penuh kasih. Sementara itu dibelakangnya ada seorang ibu dengan
pakaian sangat indah dan balutan make up yang luar biasa menurutku, mengikuti
dua gadis itu dari belakang.
Kali ini yang menjadi pertanyaanku,
siapakah ibu yang berada dibelakang dua gadis itu? Kalaupun hanya kebetulan
melalui jalan yang sama mengapa gadis kecil
yang digandeng tangannya oleh Putri berkali-kali pula merajuk kearah ibu
itu? Apa mungkin itu ibunya? Kenapa terlihat cantik sekali. Namun, belum
saatnya aku menemukan jawaban.
Aku hanya mengamati dari jauh, setelah
mengamen dua gadis itu memberikan seluruh isi tasnya pada ibu itu. Aku menunggu
ibu itu pergi lalu aku akan bebas mengintrogasi dua bocah itu.
“PUTRI” aku berteriak memanggil.
Ia menoleh, lalu menghampiriku.
“Ada apa mba?” ia mendatangiku
dengan riang.
“Tadi siapa?”
“Mama”
Allahu Rabbi... ada sungai mengalir
tepat dikedua mataku. Aku memeluknya ringan. Menatapnya lembut, mereka hanya
diam.
Allahu Rabbi, mengapa harus seperti
ini? Apakah ini bagian atas pelajaran bagaimana mensyukuri nikmat-Mu? Agar
tidak serakah dan memantaskan diri dihadapanMu? Apakah ini bagian dari segala
rasa syukurku yang masih terbatas.
Allahu Rabbi, apakah ini bagian dari
cara anak berbakti pada ibunya? Apakah benar yang dilakukan sang ibu, menyuruh
anaknya meminta pada orang lain? Padahal dalam kitab suci, sudah jelas. Tangan
diatas lebih baik dari tangan dibawah.
“Mba Zee, kenapa nangis?” Putri
heran sendiri.
“Kenapa kamu mau disuruh mama
mengamen?”
“Putri sayang sama ibu, Putri mau
disuruh apa aja” aku mempererat pelukanku.
“Terus uangnya sama ibu dipakai buat
apa?”
“Buat beli baju baru dan bedak mba”
ia menahan getar suaranya.
“Putri cuma mau ibu bahagia”
lanjutnya lagi;
Allahu Rabbi, begitu tulus hati dua
bocah ini. Sampai mereka tak sadar bahwa kali ini mereka sedang dimanfaatkan.
Dikuras tenaganya. Salju itu semakin mencair, membanjiri hatiku.
Fajar
Afika
29122013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar