Rabu, 11 Juni 2014

Mentari Senja



Sore itu, kau tiba-tiba hadir dihadapanku. menyembunyikan sesuatu dibalik tanganmu. Kau menatapku erat sekali. Sesekali kau menyeka ujung matamu. Lalu kemudian kau mengambil tanganku. Menenggelamkan aku dalam pelukanmu, sekejap. Lalu tangismu pun pecah.

Aku semakin tak kuasa, aku mencoba melepaskan pelukan itu. Namun gagal. Kau semakin erat dan tangismu semakin keras. Sejam berlalu dengan posisi yang sama. Jam berikutnya, kau mulai bicara patah-patah, "Maaf" berkali-kali kau ucapkan kata-kata itu. Tanganmu masih menyembunyikan sesuatu.

Aku menggenggam erat tanganmu, "Ada apa?" aku bertanya khawatir. Namun kau tetap bisu. Lalu aku menunggumu bicara. Tetap tersenyum. Tak lama kemudian kau menyodorkan selembar kertas cantik berwarna merah, tertulis namamu dan namanya, juga tertulis tempat dan tanggal resepsi pernikahan. Aku tersenyum getir, mencoba menahan cemburu, tapi gagal.

Kini, aku yang tak henti menangis. Kau memelukku lagi, tapi terpaksa aku tolak. "Kau jahat" aku hanya bisa berteriak satu kalimat itu. Berkali-kali.
"Aku tahu, aku salah. Aku minta maaf" kali ini kau berlutut dihadapanku.
Kau menyisir rambutku, biarkan aku bersamamu setidaknya sampai hari pernikahan itu.

"Tidakkah kau bahagia melihatku melangkah lebih cepat?" ia menatapku tajam.
Aku diam membisu.
"Kau harus jawab, apa harus aku meninggalkannya untukmu"
Lalu semua diam membisu.


***

Aku menggenggam undangan itu berkali-kali. Meremasnya hingga tak terlihat bentuk aslinya. Kemudian aku luruskan kembali. "Kamu jahat" berkali-kali aku mengungkapkan kalimat itu, menenggelamkan dalam tangisku. Besok hari pernikahanmu.

Seluruh kenangan seolah berlari-lari meminta untuk dijemput. Kau dengan pasanganmu sedang bersiap-siap menantikan saat bahagia. Sementara aku menantimu diujung penantian. Aku meraih ponselku, mencari namamu.
"Halo" suaraku bergetar.
"Kamu kenapa?" suaramu terdengar khawatir. 
"Gimana persiapannya?" aku menahan air mata yang siap membanjiri.
"Semuanya baik, kamu baik kan?" ia terdengar ragu.
"Besok kita ketemu ya sebelum kamu nikah" ajakku
"Sekarang aku ke rumah kamu aja. Kita makan malam diluar" percakapan berakhir.

Aku bersiap-siap mengenakan pakaian terbaik. Merias wajah secantik mungkin, mengenakan parfum terbaik dan merapalkan beberapa doa. Tak lama, kau datang membawa bunga mawar kuning, kau bilang simbol persahabatan.

Akhirnya kita pergi ke sebuah taman, menikmati malam sambil menikmati bintang.
"Mau makan apa?" kau bertanya basa-basi, padahal kau tahu apa saja yang aku suka.
Kali itu aku menggeleng. Aku tak ingin makan apapun. Hanya ingin bersamamu.

"Sebenarnya sejak kapan kau merencanakan pernikahanmu itu?" aku bertanya galak.
"Semuanya tanpa rencana. Mengalir begitu saja, aku yakin sekali dengan pilihanku ini." Wajahmu tersenyum saat mengucapkan kata-kata itu.
"Bahkan kau lupa janji kita berdua?" aku menatapnya serius, kau hanya menunduk.
"Kau lupa kita pernah punya janji suci? Kau lupa itu? hah!" aku berteriak dihadapanmu.

Kita sama-sama memandang bintang, saling bertatap ringan. Kemudian saling  tersenyum. Hampir tengah malam, dan kita belum kembali ke rumah. Menenangkan hatiku berkali-kali. Beberapa saat kita tertawa, namun saat kembali ingat kau akan menikah besok, aku kembali menangis. Semuanya berulang sampai pukul tiga dinihari.

Akhirnya malam itu kau tertidur dipangkuanku, dibangku taman. Tempat dimana kita mengucap janji suci beberapa tahun silam. Aku tak bermaksud menggagalkan rencana pernikahanmu, hanya saja aku ingin bersamamu semalam saja.

Aku membangunkanmu, memintamu mengantarku pulang. Kau menuruti apapun yang aku minta malam itu. Lalu kita sama-sama tertidur dirumahku.
Pagi harinya, keluargamu panik mencarimu. Mereka menghubungiku berkali-kali, memintamu pulang.
Pukul enam kau pulang, bersiap untuk pernikahanmu. Saat itu kau bilang, "Kamu ga perlu datang ya, istirahat dirumah" aku mengangguk. Dusta.

Pukul delapan, saat kau siap berangkat menuju tempat calon istrimu. Aku berdiri didepan rumahmu, kau panik sekali saat itu. Keluargamu apalagi, kakakmu berkali-kali menguatkanku. Berkali-kali bilang kita akan tetap menjadi sahabat.

Tangisku semakin deras saat berada dikediaman mempelai perempuan, akhirnya aku ikut mendampingimu. Duduk manis disebelah kananmu.
Penghulu mengambil tanganmu, bersalaman.
Aku menangis lagi, kau melepaskan genggam tangan sang penghulu, membelai wajahku lembut. Mencium tanganku seakan memohon restu.
Aku menatapmu kuat, menangis lagi. Semua berlalu lebih dari satu jam.
Kau menatap calon istrimu dalam-dalam, ia membalas dengan senyuman. Kembali ke kamarnya.

Kau menggenggam tanganku. Kemudian tangan sang penghulu. Merapalkan beberapa kalimat.
Lalu kita pulang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...