“Bangun, Nak. Udah hampir imsak” teriak Ibu dari dapur.
Aku
masih mengerjapkan mata. “Iya sebentar” jawabku singkat. Namun kemudian aku kembali
bersembunyi dibalik selimut.
Tak
lama kemudian, suara petasan saling bersautan. Bahkan kilauan api seakan
menyala di atas kamarku, mengganggu. “Ahhh,
berisik banget” gerutuku kala itu.
Aku meloncat dari tempat tidur, melihat jam
disebelah kiriku. Kemudian berlari ke ruang makan. Tanpa aku hiraukan ponsel
yang terus berdering.
“Ada
makanan apa untuk sahur kali ini, Bu?” tanyaku sambil mengambil piring di pojok
dapur.
“Cuci
muka dulu baru makan, kebiasaan” Ibu mengambil piring yang tengah aku pegang.
Lalu aku bergegas mencuci muka. Ayah dan adikku sudah sahur dan kini adikku
kembali tertidur. Ayah masih duduk di meja
makan.
“15
menit lagi imsak loh, makanya kalau dibangunin tuh bangun. Jangan tidur lagi”
ucap Ayah sambil merapikan piring bekas makan. “Eh, tadi Jerman menang loh 0-5
atas Brazil.” Ucap Ayah sambil mengedipkan matanya.
Mataku
membulat, “Wah, iya belum selesai pertandingannya.” Aku membawa piring yang berisi nasi ke kamar,
sambil menonton pertandingan semifinal Piala Dunia.
“Makannya
cepat, Nak. Udah mau imsak” lagi-lagi Ibu berteriak.
Aku
makan dengan cepat. Pertandingan hampir selesai, lagi-lagi tim Jerman
memasukkan bola kembali ke gawang lawan. Pendukung Brazil mulai menekuk wajahnya,
air mata mulai mengalir diwajah-wajah penuh harap itu. Sementara itu aku mulai
tersenyum manis, kemudian meraih ponsel.
Wah, Jerman menang nih, El. Besok ifthor
jama’i nih kayaknya.
Aku
mengirimkan pesan singkat pada sahabatku yang juga mendukung Jerman dalam laga
piala dunia kali ini. Aku pun sibuk di grup BBM tempatku bekerja. Beramai-ramai
dengan beberapa teman yang lain meledek teman yang tim kesukaannya kalah dalam
laga tersebut. Komentar saling bermunculan, saling ejek bahkan saling menjatuhkan.
Piala dunia turut mewarnai suka cita Ramadhan kali ini. 1-7 Jerman menang atas
tuan rumah.
Message Receive
From : El
Besok
lu kesini, kita nyoblos. Milih presiden, ada yang lebih penting daripada
kemenangan Jerman. You know what i mean :D
Aku
menepuk dahiku, ahh.. hampir lupa pagi ini ada pesta demokrasi lima tahunan di
Negeri ini. Aku tak siap dengan pemerintah yang baru. Banyak fakta-fakta yang
menjatuhkan satu calon presiden dengan calon lainnya.
Meski
aku tak siap, aku harus tetap memilih. Ini untuk masa depanku dan bangsa ini.
Mengingat aku hidup dipemerintahan sebelumnya selama sepuluh tahun, berat
rasanya jika ditinggalkan oleh pemimpin ini. Presiden yang aku tahu bijaksana
dan di masa kepemimpinannya aku berjuang hebat untuk hidupku. Maka bisa
dikatakan, ialah saksi kehidupanku saat ini.
Apalagi
beredar isu menyeramkan tentang dua calon pemerintah kali ini. Satu sosok
dianggap mempunyai masa lalu yang menyeramkan sementara yang satunya didukung
oleh orang-orang dengan visi misi menyeramkan. We know what i mean.
Message Sent
To : El
Ahhhh, gue mau golput aja. Bingung L
.
Message Received
From : El
Golput sama aja membiakan pemimpin dzalim
memimpin negeri ini. Udah si kesini
cepetan
Sahabatku
yang satu itu suka sekali memaksa. Baiklah aku bergegas mengenakan gamis
abu-abu dengan pasmina warna senada. Tak lupa aku turut mengajak ayah dan
adikku.
Semua
akan jauh lebih menyeramkan jika aku tidak menggunakan hak suaraku. Satu suara
menentukan masa depan bangsa. Setidaknya, aku bisa memilih yang sedikit
kekurangannya dan memiliki pendukung yang luar biasa
Riuhnya suasana di Tempat Pemilihan Suara
membuatku menerka siapakah yang berhasil merebut suara rakyat dalam pesta
demokrasi kali ini. Saling beradu argumen siapakah yang terbaik, ah bodo amat.
Aku lelah dengan segala janji palsu mereka. Siapapun pemimpinnya, harus ada
perubahan yang lebih baik.
Pemilu
turut menghiasi warna Ramadhan yang penuh berkah.
***
Allahu Akbar...Allahu
Akbar... Allahu Akbar.
Dentuman suara yang
lebih dahsyat dari petasan terdengar menggelegar, hei ini suara roket bukan
petasan. Apinya jauh lebih panas dan luka bakarnya juga lebih dahsyat jika
terkena tubuh. Bahkan asapnya bisa menghitamkan langit dalam radius beberapa
kilometer.
“Allahu Akbar, Allahu
Akbar” teriak seorang bocah dengan luka dibagian kepala dan kakinya, Ahmad.
Bocah berusia sebelas yang berlari mengetahui kedatangan roket, seolah
menantang kematian.
Jalur Gaza, tempat dimana
konflik sedang berkecambuk. Asap hitam memenuhi langit kota itu, tanpa ampun
Israel terus menggencarkan serangan untuk melumpuhkan Palestina, mereka ingin
menguasai tempat suci berdirinya Masjid Al-Aqsha. Bumi Syam. Gaza terus di
gempur rudal-rudal yang membuat seluruh penduduk panik bukan main.
“Pergi dari situ
Ahmad” teriak seorang laki-laki paruh baya, Abdullah. Namun Ahmad kecil tak
bergeming, ia tetap berada didepan rumahnya. Menunggu ibunda tercinta.
Laki-laki yang sedari
tadi memanggil-manggil akhirnya tak sabar, ia berlari menghampiri Ahmad kecil,
kemudian mengajaknya bersembunyi dibalik batu-batu bekas reruntuhan rumah.
Tempat yang dianggap lebih aman.
“Kenapa kau bawa aku berlari, aku menunggu ibuku pulang.
Kembalikan aku kesana” Ahmad kecil meronta-ronta digendongan lelaki setangah
baya itu. Sia-sia, lelaki itu tetap membawa Ahmad berlari menghindari rudal
berikutnya. Lelaki itu hanya menggeleng mendengar permintaan sang bocah.
“Aku
ingin bertemu ibuku” lagi-lagi si kecil berteriak.
“Hai, dengarkan
pamanmu ini. Iya nanti kau akan bertemu ibumu, tapi nanti saat waktunya sudah
tepat” Abdullah menenangkan hati bocah yang tengah merindukan ibunya.
“Paman, sejak kemarin
ibuku tak kunjung kembali ke rumah. Aku ingin mencarinya. Aku ingin tau apa
yang terjadi pada ibuku” ia mengemukakan keinginannya.
Abdullah menyeka
wajahnya. “Bumi Allah ini luas, Ahmad. Kau harus percaya Allah pasti menjaga
ibumu”
Semua orang berlari
menuju tempat yang lebih aman. Termasuk didalamnya seorang anak lelaki kecil
bersama beberapa orang dewasa ikut berlari.
“Itu
Umar, adikku” teriak bocah kecil itu histeris. Tangannya seolah meraih tangan
adiknya.
Anak
kecil bernama Umar itu, berkali-kali terjatuh saat berlari menyelamatkan diri. Namun ia tak gentar, ia
kemudian bangkit menuju kakaknya. Badan mungilnya seperti tertutup tubuh orang
dewasa lainnya. Kini wajahnya tak tampak dalam pandangan Ahmad, seketika
semuanya gelap.
***
Di
negeri ini, rakyat disibukkan dengan pemilihan presiden terbaru. Dengan harapan
memiliki pemimpin yang lebih baik. Pemimpin yang mendukung berbagai gerakan
perubahan, yang tidak mengesampingkan norma agama.
Sementara
dibelahan bumi lain, sedang diadakan semarak piala dunia. Ini sekadar hiburan
ditengah berbagai persoalan yang menguras perasaan.
Lihatlah,
mungkin rasa syukurku masih kalah jauh dengan saudara-saudaraku di Jalur Gaza.
Mereka bukan hanya berjuang menahan lapar dan dahaga saat Ramadhan kali ini.
Mereka, berjuang mempertahankan Islam diatas negeri yang terjajah. Sementara
aku, masih berjuang dalam perjalanan menuju perubahan yang lebih baik. Aku
masih mengeluh mendengar suara petasan, aku masih mengeluh dengan makanan yang
terhidang didapur.
Inilah
sepenggal kisah perjuangan dalam Ramadhan kali ini. Ketika aku berjuang melawan
segala kemalasan, menentukan target hidup yang harus segera dicapai dan
berjuang meraih semua mimpi yang masih terpending
Allah... dipenghujung
senja izinkan aku tetap bersyukur atas nikmat yang tak terkira. Inilah warna
Ramadhan tahun ini, Ramadhan yang penuh kejutan.
***