Sabtu, 23 Juni 2018

Ibadah itu bernama Pernikahan

Pernikaham adalah suatu moment yang sakral dalam kehidupan manusia. Bagaimana tidak, perjanjian pernikahan bahkan masuk dalam satu dari tiga perjanjian luhur di dalam Al Quran.

Bagi saya, pernikahan bukanlah perkara yang mudah. Jika pernikahan adalah perkara yang mudah mungkin saya sudah menikah bertahun lamanya.

Saya sadar bahwa menikah itu perlu kekuatan lahir dan batin. Kekuatan yang sempurna untuk menghadapi orang asing yang tiba-tiba harus kita temani 24/7.

Bagi saya, menikah harus direncanakan dengan matang. Terutama mental yang siap. Jika mentalnya tidak siap maka badai rumah tangga akan sering terjadi.

Saya menikah pada Maret 2017 tapi rencana saya menikah di usia 23 tahun menuju 24 tahun sudah saya rencanakan. Sejak usia saya 16 tahun menuju 17tahun,  saya sudah sounding doa kepada Allah bahwa saya ingin menikah di usia yang saya sebutkan diatas.

Saya berulang kali meminta kepada Allah dimudahkan jodohnya tanpa harus mengalami luka yang berat. Namun takdir Allah yang terbaik, saya yakin dan percaya. Nyatanya, saya harus merasakan berkali-kali patah.

Sebelum menikah dengan suami saya ini, saya sempat berproses dengan laki-laki lain sampai ke tahap lamaran, hanya menghitung bulan menuju pernikahan. Dan itu harus kandas karena satu hal dan lain sebagainya.
Rasanya sungguh perih, saya tidak dusta.

Kemudian saya berproses lagi, gagal lagi. Proses lagi, orangtuanya nggak setuju. Proses lagi, kandas lagi. Sampai saya lelah kemudian bertanya kepada Allah, seistimewa apa si jodohku sampai jalannya harus seterjal ini?

Satu hal lagi,  saya meyakini doa orangtua adalah yang paling utama setelah bermunajat kepada Allah. Sejak awal 2016, saya mulai sounding ke ibu saya bahwa saya ingin menikah di tahun depan, dan akan ada yang melamar di tahun ini. Sungguh saya berbicara dengan amat yakin. Padahal saya belum tahu akan menikah dengan siapa dan kapan tepatnya.
Saya terus meminta doa beliau semoga dikabulkan oleh Allah.

Juni 2016, seorang sahabat datang menghubungi saya via chat. Dia ini laki-laki. Mengajak saya makan malam berdua saja. Saya oke, kita berangkat.
Sampai disana saat saya sedang makan,  ia tiba-tiba bercerita akan melamar seseorang.
Perasaan saya?  Agak sedih karena harus kehilangan sahabat yang baik. Tapi ternyata, seseorang itu adalah saya. Betapa bahagianya saya saat itu.
Namun saya tidak langsung menerima karena saya sadar bahwa saya harus meminta restu Allah. Saya istikhoroh terlebih dahulu.
Dengan segala kemudahan,  akhirnya September 2016, lamaran.
Maret 2017, menikah.

Jalan menuju pernikahan amat terjal namun prosesnya amat mudah.
Ingatlah bahwa pernikahan adalah ibadah yang panjang sehingga harus bersanding dengan orang yang tepat.
Bukan berarti harus cepat karena dateline, tapi menikahlah saat Allah sudah ridha untukmu menikah.
Jangan lupa minta restu orangtua agar semua berjalan sesuai harapan.

Kemudian belajarlah lebih dewasa. Karena kelak bagi laki-laki akan menanggung beratnya kehidupan rumah tangga. Dimana laki-laki akan dimintai banyak pertanggungjawaban tentang rumah tangganya.
Berhentilah menjadi anak mama yang manja. Karena nantinya keputusanmu yang akan diambil, bukan keputusan mamamu.

Untuk perempuan pun sama. Harus belajar lebih dewasa karena kelak keputusanmu yang akan membuat anak-anakmu menjadi tangguh.

Untuk hati yang pernah terluka,  segera obati lukanya. Enyahkan akar masalahnya. Jika memang perlu bantuan psikologis,  datanglah kepada ahlinya. Supaya rumah tangga lebih aman dan damai nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...