Senin, 30 Juli 2018

Skizoafektif? Siapa yang Mau?

Semua orang ingin hidup sehat sejahtera tanpa kurang satu apapun. Namun pada kenyataannya, semua tidak selalu sesuai ekspektasi.

Aku akan memulai ceritaku tentang gangguan jiwa. Skizoafektif namanya. Terdengar asing bagi beberapa orang namun tidak untukku.

Psikiater yang menanganiku telah mendapatkan diagnosa tersebut tepat beberapa kali aku konsultasi dengan beliau. Hal itu sempat membuatku jatuh. Bagiku skizo adalah penyakit yang mematikan. Iya mematikan akal sehat.

Bagaimana tidak? Aku harus bersahabat dengan halusinasi yang tak kunjung aku temui kebenarannya. Kemudian aku harus menghempaskannya jauh-jauh.

Skizoafektif adalah gangguan halusinasi dan gangguan mood. Biasanya pada pasien yang mengalami halusinasi seperti pasien skizofrenia memerlukan obat untuk di minum setiap hari. Jika tidak di minum akan menimbulkan disabilitas mental dan terkadang berakhir pada pemasungan.

Diagnosaku tidak sedikit. Namun sebagai diagnosa awal cukuplah skizoafektif yang aku terima dengan baik.

Bagaimana tidak? Aku harus bersahabat dengan halusinasi dan waham yang menghampiri. Selain itu, jika moodku sedang dalam keadaan tidak normal, bukan berarti aku bebas tidak melakukan apapun.
Kadang aku berfikir bagaimana caranya melukai diri sendiri. Bagaimana agar orang lain terluka juga. Aku hanya berfikir bagaimana caranya aku bisa puas.
Parahnya, aku biasa puas dengan melihat banyak darah yang mengalir. Tidak lebih dari itu.  Seolah ada kepuasan tak terhingga dalam kejadian tersebut.

Sementara itu, aku kadang merasa kosong dan hidupku entahlah akan dibawa kemana. Aku seolah hanya mengikuti waktu dan angin yang membawaku pergi.

Aku bahkan lupa caranya berani untuk berada di tengah keramaian. Aku kini menjadi seorang yang penakut.

Pada suatu masa, seseorang membisiki agar aku membunuh seseorang agar aku bahagia. Bagaimana mungkin, bisa bahagia dengan menyakiti orang lain. Aku hanya ingin bahagia dengan caraku sendiri. Namun tidak dengan menyakiti orang lain. Aku ingin hidup normal.

Selasa, 24 Juli 2018

Bersahabat dengan Depresi

Entah kenapa setiap mendengar atau melihat tulisan tentang depresi, hati saya rasanya hancur sekali. Sedih, marah, kecewa, semua jadi satu.

Tentu setiap orang ingin hidup normal tanpa depresi. Namun lagi-lagi hidup ini keras dan dipenuhi oleh orang-orang yang keras hatinya. Sehingga tidak memiliki empati pada oranglain.

Saya mengalami depresi sejak kecil.  Sejak usia saya masih empat tahun. Bayangkan, usia empat tahun saja saya sudah mengenal depresi. Berujung kini berubah menjadi DID.

Semua bermula saat saya sedang asyik bermain sepeda. Kemudian ada seseorang yang memarahi saya.
Dan suaranya masih menggema dalam telinga saya. Sampai saat ini.

Sebagai balas dendam saya, saya juga jadi suka marah-marah sendiri. Dan semuanya diluar kontrol saya. Benar-benar diluar kuasa saya. Saya bahkan dalam keadaan tidak sadar saat marah-marah. Whatever people say.

Saya pun sebenarnya ingin marah.  Iya marah pada keadaan yang seolah menjelma bagai monster yang tak mau bersahabat dengan saya.

Waktu berganti, nyatanya depresi bukannya menghilang malah bertambah. Lagi dan lagi saya menyerah pada keadaan.

Luka batin semakin menganga. Jelas sudah ketika saya semakin tak beraturan cara hidupnya. Tak kuasa rasanya saya mengolah rasa lagi.
Akhirnya saya putuskan pergi ke psikolog. Entah karena satu hal dan lainnya, saya berhenti.
Akhir 2014, saya putuskan untuk pergi ke psikiater berbekal rasa sok tahu saya. Jelas meminta pertolongan.

Saya menjelma bagai robot kala itu, berat badan bertambah. Jalan kaku bagai robot.
Seolah entahlah.
Lagi. Saya ingin menyerah pada keadaan tapi saya harus bertahan.

Saat saya ke psikiater, diagnosa dokter langsung mengarah ke skizoafektif. Gangguan skizo dan gangguan mood.
Awalnya saya kira, saya bipolar. Ternyata bukan.

Maka kali ini saya harus bisa memeluk depresi saya.  Kemudian hidup bersama dengan tenang.
Tapi saya tak menyerah. Saya akan terus berusaha agar Tuhan selalu melindungi saya.

Sabtu, 07 Juli 2018

Pasti Bisa : Program Hamil

Memiliki anak adalah hal yang diinginkan hampir sebagian besar pasangan yang menikah. Apalagi di Indonesia ini,  pertanyaan tentang anak bagi yang sudah menikah seperti pertanyaan lazim dan bisa di maklumi. Padahal tidak menurut saya. 

Anak murni hak preogratif Allah. Hanya Allah yang berhak seutuhnya menentukan kehidupan seorang manusia. 

Sebagai pengantin baru yang maunya langsung dikasih keturunan tentu angin segar saat haid tak kunjung datang.


Tepat dua bulan pernikahan, hal itu terjadi kepadaku. Sungguh aku amat bahagia karena telat haid tersebut. Awamnya aku, kurangnya ilmuku dan lain sebagainya. Membuatku merasa diatas angin.
"Oh pasti hamil nih"

Sampai seorang saudara bilang,  "testpack gih siapa tau hamil". Makin pede dong yaa.
Besoknya beneran yang testpack gitu, deg-degan banget pas lihat hasilnya. Dalam hati,  garis dua pasti garis dua. Ehh pas hasilnya keluar garisnya cuma satu. Iya cuma satu. Kok cuma satu. Pokoknya pergulatan batin dimulai.
Suamiku sempat bilang, "coba lagi pekan depan. Kali aja udah kelihatan".

Pekan depannya di test lagi. Hasilnya masih sama. Negative lagi. Padahal sudah telat sebulan loh. Kok hasilnya masih negative. Ahh kesal banget deh pokoknya. Namun yaa tanda-tanda hamil sudah didepan mata. 


Akhirnya cek ke dokter,  USG Transvaginal. Hasilnya PCOS dan penebalan dinding rahim. Kondisi dimana sel telur kecil-kecil sehingga sulit untuk dibuahi. 

Hancur sekali,  ingin marah. Entah harus kecewa sama siapa. Tapi akhirnya dokternya menjelaskan,  bahwa insyaaAllah akan tetap bisa hamil selama mau di terapi. 


Alhamdulillah setelah sekian bulan di terapi, setahun lebih tepatnya. Akhirnya sel telurku membesar dan siap untuk dibuahi. 


Ikhtiar ini tidak lain hanya untuk mencari ridha Allah. 

Sampai tulisan ini ditulis,  saya belum diberikan kehamilan. 

Selanjutnya insyaaAllah suami akan cek analisis sperma dan saya akan HSG. 

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...