Jauh sebelum menikah, aku sudah mensetting hati dan pikiranku. Bahwa tujuanku menikah adalah untuk beribadah. Menikah untuk Allah. Semata-mata mengejar surga berdua pasangan.
Indah dan sederhana sekali bukan?
Sungguh tidak ada di pikiranku bahwa menikah itu untuk memproduksi anak sebanyak-banyaknya. Untuk mengumpulkan harta kemudian hidup mewah. Sama sekali tidak ada di pikiranku sepuluh tahun lalu, pikiran seorang gadis yang baru saja jatuh cinta.
Namun semua bergeser ketika aku sudah menjalani pernikahan. Seolah aku menganggap bahwa menikah itu harus punya anak. Sehingga aku melupakan bahwa kebahagiaan itu bukan semata-mata karena anak. Namun sumber kebahagiaan adalah hadirnya pasangan yang menerima kita dengan cinta.
Pemikiranku bergeser sejak banyak yang bertanya perihal anak. Meski sungguh aku menginginkannya kok sepertinya bukan dari hatiku ya? Sepertinya hanya karena tekanan lingkungan.
Bukan semata-mata aku merindukan tapi seolah kehadirannya adalah bahan taruhan. Sehingga sampai saat ini aku belum dititipkan.
Keinginan untuk bersaing dengan orang-orang. Keinginan membuktikan bahwa aku juga bisa. Seolah malah menutup jalan tersebut. Jalan untuk memiliki anak yang lucu.
Aku menjalani berbagai terapi seolah hanya ingin membuktikan kepada khalayak ramai bahwa usahaku untuk memiliki anak sudah cukup maksimal.
Hingga siang ini, Allah menegurku dengan caraNya. Kemudian membuatku merenung tentang tujuanku menikah yaitu ingin beribadah.
Mengutip perkataan Mbak Annisa steviani bahwa kalau berbeda pun tidak apa-apa. Sehingga kalaupun pemikiran ku kali ini berbeda, maka tidak apa-apa.
Aku yakin bahwa Allah memberikan apa-apa yang aku butuhkan bukan yang aku inginkan.
Sehingga jika dalam masanya ada kejutan-kejutan tak terhingga sungguh itu hanyalah bonus.
Kembali ke tujuan awal, bahwa menikah itu untuk ibadah bukan berlomba-lomba untuk memiliki banyak keturunan ataupun Siapa yang paling banyak hartanya.
Maka sungguh kali ini cukup bagi ku memiliki pasangan yang bisa menuntunku menuju surga