Sabtu, 23 Mei 2020

Indonesia Jangan Terserah

Takbir yang berkumandang, tidak seperti biasanya. Dimana biasanya dapat berkumpul dengan sanak saudara. Kadang bersama ibu mertua untuk masak bersama atau bersama keluarga lainnya sambil melemparkan canda tawa. 
Kali ini, sungguh sangat berbeda. Dengan keriuhan hati harus menyepi di ruang yang sepi. Sambil sesekali bertanya, apa kabarnya pandemi?

Banyak insan yang sedang sakit hati menahan gejolak yang terus menyalahkan orang-orang tak tau diri, mereka dengan kebodohan hakiki terus bertindak sesuka hati. Sementara sebagian orang terus menangis, bahkan sekalipun dalam mimpi. Apa yang belakangan terjadi tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dijaga. Di saat keluar rumah adalah hal yang mewah bagi sebagian manusia, eh bandara malah dibuka aksesnya. Apakah ada rencana tak terduga?

Pada malam ini, dimana takbir bergema dimana-mana, ada nyawa-nyawa yang tentu saja berharap tetap bersama raganya. Mungkin saja ada yang masih menganggapnya biasa saja, toh nyawa adalah milik Allah, tak apa meninggal sia-sia karena corona.




Ramadhan yang Tak Biasa

Dipenghujung Ramadhan kali ini, ada sesuatu yang saya rasakan amat berbeda dengan Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Saya tahu, ini tidak mudah. Apalagi harus mengubah kebiasaan yang hampir sudah mendarah daging. Ada sedih dan sesak yang sangat hingga tak dapat diungkapkan dengan kata apapun.

Ramadhan kali ini datang dengan keriuhan berbeda. Jauh dari segala ingar bingar Ramadhan seperti sebelumnya. Ramadhan yang biasa dipenuhi dengan masjid-masjid yang penuh sesak di pekan pertama dan terus berkurang dipekan terakhir. Sekarang? Sejak malam pertama tarawih pun masjid-masjid kosong, ya ada aja sih yang tarawih ngumpet-ngumpet sambil mematikan lampu hehe.

Biasanya Ramadhan dipenuhi kegiatan silaturahmi. Mulai dari buka bersama dengan teman SD, teman SMP, teman kantor, teman organisasi. Biasanya selama Ramadhan, weekend itu udah full. Belum lagi buka bersama dengan keluarga dari ayah atau ibu, keluarga besar dari nenek buyut, dan seterusnya. Mungkin perang sarung bagi anak laki-laki, jalan santai setelah subuh dan lain sebagainya, kali ini tidak ada.

Namun dalam kondisi pandemi yang tidak pernah kita duga sebelumnya, pasti ada harga yang dibayar cukup mahal karena tidak bisa keluar rumah dengan bebas. Jika pun harus keluar rumah, pasti ada harga yang harus dibayar cukup mahal. Pertama, karena anda berisiko membawa virus untuk orang lain. Kedua, orang lain membawa virus untuk anda.
Apakah ini termasuk win-win solution? Tentu saja bukan. Wong saling merugikan, kok.




Jumat, 15 Mei 2020

Mengelola Emosi saat Pandemi

Whoaaaaa....
Udah hari ke-berapa nih diam di rumah aja? Rasanya gimana? Sedih dan kesal ya? Karena kok dari kemarin lihat di media sosial banyak yang pada mudik lewat bandara. Apakah pandemi ini sudah selesai di Indonesia?

Duh, kalau terus-terusan melihat semua itu rasanya mau marah terus tapi kan harus sadar bahwa marah tidak menyelesaikan apapun. Justru marah hanya akan menghabiskan energi kita yang sudah sangat terbatas ini. Terbatasnya energi, jungkir balik mood dan pikiran-pikiran negatif yang terus menghantui tidak lain hanya akan semakin membuat kita semakin jauh dari bahagia.

Semakin lama semakin stress karena setiap keluar rumah selalu melihat kenyataan bahwa jalanan kok rame amat. Angkringan penuh amat. Kalau sore jalanan macet terus. Apakah orang-orang itu tidak tau bahwa pandemi Covid 19 belum berakhir? Apakah mereka tidak tahu bahwa populasi yang melakukan tes tidak sebanyak itu? Apakah tidak tahu risiko yang akan ditimbulkan jika positif Covid 19? Serta berbagai problematika lainnya.




Kamis, 14 Mei 2020

Berutang itu Boleh

Sejak awal menikah, saya tidak pernah bermasalah dengan keuangan keluarga. Masih bisa bayar sewa rumah, masih bisa liburan tipis-tipis. Bisa memilih mau makan apapun. Semua berjalan dengan sangat membahagiakan sampai suatu hari ada tekanan untuk mengambil KPR. Wow... Alasannya karena rumah yang akan dijual dekat dengan rumah mertua saya. 

Hal yang paling menyedihkan untuk saya dan suami pada saat itu adalah kami sudah berkomitmen untuk tidak memiliki utang. Selain faktor agama, ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan hingga akhirnya kami berani memutuskan hal tersebut. Tentu melanggar apa yang telah kami sepakati adalah hal yang sangat menyakitkan. Padahal, saya merasa kebahagiaan saya sudah cukup baik saat itu. 


Minggu, 03 Mei 2020

Kesehatan Jiwa di Lingkungan Kerja

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masalah kesehatan jiwa seakan sebuah aib yang harus ditutupi, harus disingkirkan dan beberapa pihak tidak aware dengan pengobatan dan proses penyembuhan.
Jadi, masalah kesehatan jiwa ini dianggap penting tidak penting.

Lalu, bagaimana lingkungan kerja memandang kesehatan jiwa?

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...