Minggu, 03 Mei 2020

Kesehatan Jiwa di Lingkungan Kerja

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa masalah kesehatan jiwa seakan sebuah aib yang harus ditutupi, harus disingkirkan dan beberapa pihak tidak aware dengan pengobatan dan proses penyembuhan.
Jadi, masalah kesehatan jiwa ini dianggap penting tidak penting.

Lalu, bagaimana lingkungan kerja memandang kesehatan jiwa?


Bagaimana lingkungan kerja memandang isu ini? Tentu beberapa sektor sangat menolak dan memandang sebelah mata karyawannya yang memiliki gangguan jiwa ringan, sedang hingga berat. Menurut pengalaman beberapa orang yang sempat saya wawancara, ada yang menerima, ada yang setengah menerima dan tentu saja  ada yang menolak.

Jika dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya, mengapa masalah-masalah atau penyakit-penyakit yang harus ditangani oleh psikiater harus dianaktirikan? Mengapa harus ada perbedaan yang sangat jauh.
Jika kita melihat berbagai perjanjian kerja bersama antara karyawan dan pihak pengusaha, maka tidak ada satupun pasal yang mengatur bagaimana masalah gangguan jiwa ini ditangani dan berhak mendapatkan dispensasi?

Tentu saja rumit sekali, karena masalah gangguan jiwa ini sangat kompleks dan tidak bisa di diagnosa sembarangan. Eh, bukannya semua penyakit juga tidak bisa sembarangan mendiagnosa?
Tapi, saya melihat ketidakadilan disini.

Jika dalam perjanjian kerja bersama ada pasal yang mengatur penyakit berat dan bisa meminta cuti kerja dibayar sampai dengan satu tahun dengan syarat dan persentase tertentu, untuk penyakit jiwa, tidak ada. Justru yang ada itu, iya silakan anda mengundurkan diri dari perusahaan ini.

Tidak ada pembelaan meskipun sudah meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu. Ucapan yang ada hanya, yaudah semangat berobatnya supaya cepat sembuh. Tidak ada satupun yang mengusahakan bagaimana bisa mendapatkan cuti khusus.

Bahkan ya, saat medical check up tidak ada sesi konsul dengan profesional di bidang kesehatan jiwa. Lah,  bukannya untuk sampai pada tahap masalah yang serius harus ada yang sederhana dulu? 
eh, tapi kalau ada psikiater atau psikolog yang memeriksa, memangnya si karyawan akan jujur? Kayaknya enggak juga, karena takut diminta mengundurkan diri yang dapat pesangon aja enggak.

Jujur ini bingung nulis apa sebenarnya. 
Tapi saya hanya berusaha mengungkapkan apa yang saya pendam selama beberapa tahun belakangan.

Jika pada akhirnya saya tidak mendapatkan cuti khusus, tidak mendapatkan pembelaan. Bahkan tidak mendapatkan support, tidak ada yang percaya apa yang saya rasakan. Sementara teman yang lain dijenguk berkali-kali diperhatikan berkali-kali. Saya hanya bisa menahan iri.

Apakah semua lingkungan kerja menilai karyawan dengan gangguan jiwa secara demikian? Semoga saja tidak, apalagi saat ini sudah banyak yang membahas tentang isu ini. Tentang fakta-fakta yang mulai dipahami banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...