Bagi saya, menikah adalah ibadah. Tentu saja di awal pernikahan saya berharap Allah memberikan kesempatan yang cepat untuk memiliki buah hati. Namun hingga satu tahun pernikahan, belum ada kabar apapun dari rahim saya sendiri.
Saat itu, saya memutuskan untuk melakukan program hamil yang serius dengan salah satu Obgyn di kota tempat tinggal saya. Waktu, tenaga, tentu saja harta banyak yang saya korbankan. Saya sadar betul, saat itu saya hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Berbagai jalan saya tempuh dengan bahagia, melambungkan harapan yang semoga tak pernah sia-sia.
Hingga akhirnya di suatu sore, saya harus kehilangan harapan itu. Ada sesuatu yang saya sendiri tidak tau apa penyebabnya. Tidak elok pula menyalahkan siapapun. Jujur, hari itu saya dilanda kesedihan yang cukup panjang. Saat itu, saya merasa bahwa pernikahan adalah hal yang paling sia-sia saya lakukan.
![]() |
Resty |
Semakin lama, saya kembali menyadari, bahwa tujuan menikah sebagaimana yang telah ditetapkan agama saya tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Akhirnya saya berpikir, apakah ketidakhadiran anak merupakan jalan buntu untuk beribadah? Apakah tanpa anak saya tidak bisa meraih surga? Tentu saja tidak, kan?
Pernikahan adalah sesuatu yang saya sandarkan padanya perasaan cinta. Bukan sekadar perasaan cinta pada pasangan hidup saya, tapi perasaan cinta pada Allah. Perasaan untuk selalu beribadah kepada-Nya sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.
Jika bukan karena cinta, mana mungkin saya merelakan kebebasan saya demi mengabdi kepada manusia yang banyak sekali alpha-nya. Jika bukan karena cinta, mana mau saya hidup 'susah'. Pastinya, kalau bisa senang kenapa harus sedih terus. Sepanjang pernikahan, air mata jatuh lebih banyak daripada tawa.
Air mata yang tentu saja merupakan harapan, doa dan penyesalan masa lalu. Penyesalan karena tidak maksimal mempersiapkan kehidupan setelah pernikahan. Dikira semua orang yang nikah langsung bisa hamil. Lupa mempersiapkan diri, absen melapangkan hati. Tidak tau bagaimana berpasrah pada Allah sebelum diuji sedemikian rupa.
Setelah menikah, banyak banget hal yang berbeda. Tidak ada satu pun yang menjamin semua akan sama. Misal prisipmu, kalau lapar ya makan. Entah beli atau masak, yang penting makan. Sementara pasanganmu, prinsipnya lapar ya makan, makan harus masak. Biasanya bisa santai delivery order. Setelah nikah, yaa belum tentu.
Sebelum nikah, tarik menarik koper dari satu bandara ke bandara lainnya. Gendong ransel dari satu hotel ke hotel lainnya. Berkendara dari satu kota ke kota lainnya. Menghabiskan Sabtu malam dari cafe satu ke cafe satunya. Setelah menikah, belum tentu bisa.
Entah karena langsung hamil, dilanjutkan melahirkan dan menyusui. Kemudian hamil lagi, melahirkan lagi, menyusui lagi. Berkah sekaligus akhirnya kamu merasa ada kerinduan pada dirimu, setidaknya lima tahun lalu, yang masalah hidup cuma bingung mau liburan kemana, naik apa, menginap dimana.
Jangan terlalu khawatir dengan masa depanmu setelah menikah. Jalan hidupmu belum tentu sama dengan jalan hidup saya. Apa yang saya lalui setelah menikah biasa saya sebut privilage atau hak istimewa. Kadang, privilage ini dipandang berbeda oleh masing-masing individu. Tidak ada yang salah, kok.
Ditengah ketiadaan anak, saya bersyukur atas nikmat yang Allah berikan. Ternyata apa yang saya jalani adalah hal-hal yang dirindukan oleh teman-teman saya yang sudah memiliki buah hati. Misalnya, saya bisa saja solo travelling seperti saat remaja, bisa ikut kajian dan seminar sana sini. Bahkan saya bisa sekolah lagi. Semuanya tanpa repot memikirkan yang lain selain kebutuhan sendiri.
Apa yang kita dapatkan, sadari, syukuri dan jalani aja. Ada rasa iri sedikit wajar kok, no problem tapi setelah itu istighfar. Karena kalau kita bisa, belum tentu orang lain bisa. Nikmati aja.
NB : Saya menulis ini tanpa mendiskreditkan siapapun dan apapun. Tujuan saya tidak lebih untuk mensyukuri apa yang terdapat dalam hidup kita masing-masing. Terimakasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar