Kamis, 15 Oktober 2020

Haruskah Abai dengan Kesehatan Jiwa?

Setiap menulis tentang kesehatan jiwa, secara otomatis saya menarik napas panjang. Bukan karena saya tidak menerima kondisi saya yang Allah takdirkan harus berjuang. Tidak sama sekali. Namun, saya sedih dan kecewa karena penanganan pada kesehatan jiwa tidak secepat kesehatan fisik. Bukan hanya penanganan, tapi juga kesadaran akan hal ini.

Bukan hanya masyarakat yang kurang aware, bahkan beberapa tenaga medis yang pernah saya jumpai juga pernah menolak secara langsung saat saya meminta surat rujukan ke rumah sakit khusus yang menangani masalah kejiwaan. Yhaa, kalau nakes aja kurang aware gimana masyarakat awam?

Resty Afika



Mengapa banyak sekali orang yang beranggapan bahwa orang yang butuh pertolongan profesional kesehatan jiwa hanyalah mereka yang sudah menggelandang, mereka yang bahkan lupa namanya sendiri, mereka yang bajunya kotor. Padahal, tidak semua begitu. Atau harus menunggu parah dulu baru ditolong? Sebuah anomali.


Ekspektasi saya saat pertama kali ke psikiater juga beranggapan bahwa nanti akan ketemu orang-orang berpakaian lusuh, tidak terurus dan sebagainya. Realita? Sebaliknya dong. Cantik, ganteng, harum. Pas bayar ke kasir, eh iya kok mahal hehe. Mungkin alasan ini yang mendasari (maaf) mereka yang kurang mampu enggan mencari pertolongan. Buat makan aja susah. Jadi, yaudahlah salahkan jin aja.

Udah mahal, jauh, eh masih dianggap negatif. Padahal kalau enggak ditolong kan tambah parah. Tidak bermaksud mengecilkan penyakit apapun. Di dunia ini tidak ada hal yang sepele, semua harus di selesaikan dengan penyelesaiannya masing-masing. Kadang, kita ada di posisi antara abai atau menolak keadaan kita sendiri. 

Saya mengatakan dengan jelas, membeberkan fakta tentang diri saya. Jujur, bukan untuk dikasihani. Tujuan saya hanya satu, jika suatu saat kondisi kesehatan psikis saya gawat darurat, membahayakan diri sendiri atau orang lain, lingkungan terdekat saya sudah tahu harus melakukan apa. Saya menjelaskan berulang-ulang.

Namun, sayang seribu sayang. Mostly lingkungan saya menerima dengan negatif. Ada yang bilang saya lebay, berpura-pura, mencari perhatian dan banyak kalimat negatif lainnya. Bahkan ada yang mengatakan, hmm... lebih tepatnya menantang sih. "Coba kamu bunuh diri, lompat gih dari mobil. Katanya pernah mau coba. Coba aku mau lihat, mumpung mobilnya lagi ngebut nih" (Dikatakan saat saya baru mulai stabil dan sedang berjuang sekeras mungkin menghindari relapse)

Sakit hati? Pasti dong. Karena saya begitu keras mati-matian untuk berusaha sembuh, berusaha tidak kambuh. Berusaha sekeras itu juga agar tetap bisa menelan obat-obatan yang banyak banget dan besar-besar. Niat  aja enggak cukup buat tetap semangat, harus ada tekad.

Bahkan, orang tua saya dengan keras menolak bahwa saya harus mendapatkan pertolongan dari psikolog dan psikiater. Pernah satu kali mereka mengantarkan saya ke psikiater, besoknya saya dicaci maki. Semua ungkapan buruk keluar dari dua orang yang ridhonya saya cari. Hingga akhirnya, yaa sudah saya memutuskan untuk berjuang sendiri.

Apakah gangguan pada psikis itu merupakan aib yang harus disembunyikan? 

NO.

Layaknya penyakit pada fisik kita, keluhan psikis juga harus diperhatikan. Tidak ada pilihan mana yang lebih penting antara merawat fisik atau psikis terlebih dahulu. Semuanya sama-sama penting.

Saya sungguh tidak dapat mengharapkan uluran tangan orang lain untuk sesuatu yang saya rasa urgent. Bahkan, ketika orang tua saya pun tidak dapat saya harapkan pertolongannya, pada siapa lagi saya harus mengadu?

Saya tau betul,  mereka bukan tidak menerima kondisi saya, mereka bukannya malu. Tapi mereka belum teredukasi dan terpengaruh oleh stigma di masyarakat. Saya? sudah masa bodoh dengan apa yang orang bicarakan ketika saya pergi ke psikiater. Saya sadar betul, apa yang saya lakukan bukan untuk kesenangan saya semata. Melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak saya suka, untuk keselamatan orang lain.

Harus kontrol ke rumah sakit setiap bulan adalah PR besar untuk saya. Butuh keberanian dan kekuatan yang, yhaaa saya bangun sendiri. Maka, ketika ada yang menghancurkan, rasanya pengen ajak baku hantam aja. Eh, jangan dong, dosa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...