Selasa, 03 November 2020

Pengalaman Operasi Amandel di Tengah Pandemi

Kenapa bisa tiba-tiba operasi?

Pertamanya, sekitar satu atau dua bulan lalu tuh abis makan kentang goreng eh kok kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. Yaudah memutuskan buat minum yang banyak biar rasa nyangkutnya hilang, ternyata nggak hilang dong. Akhirnya yaudah ke klinik, dikasih obat radang. Selesai? Nggak jugaa, rasa mengganjal, nyangkut dan nyeri tetap ada. Nyiksa banget, aslii. Nangis terus.

Akhirnya, tanggal 16 Oktober 2020 tengah malam, memutuskan untuk ke UGD. Atuhlah udah nggak bisa nelan banget, tenggorokan sakitnya enggak kira-kira. Napas aja rasanya kayak rebutan. Nangis juga susah ihh, karena kalau nangis pasti makin sakit kan tenggorokan tuh.
Pas sampai UGD, yaudah enggak dikasih tindakan apa-apa. Cuma disuruh datang lagi tiga hari kemudian ke poli THT  kalau masih sakit.

Sebenarnya ketika di UGD itu sempat ditawari apakah mau rawat inap atau gimana, tapi aku pikir-pikir lebih baik pulang dulu aja, kalau hari Senin masih sakit ya ke spesialis THT.




19 Oktober 2020

Aku datang dong ke poli THT, sakitnya udah nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata tapi masih bisa ditahan banget. Masih bisa makan walau ngunyah itu jadi PR yang sangat luar biasa. Minimal ada asupan makanan yang bisa masuk deh, buat aku itu udah Alhamdulillah. 

Akhirnya diperiksa sama dokter spesialis THT pakai teropong gitu. Pakai semacam alat yang dimasukkan ke dalam mulut terus ada kameranya dan bisa ambil gambar sampai tenggorokan. Nah, dari situ ketauan bahwa, di dinding tenggorokan aku ada benjolan gede banget. Si benjolan ini yang menyebabkan aku kesulitan menelan beberapa waktu terakhir.

Benjolan itu tentu enggak datang tiba-tiba, menurut dokter perlu bertahun-tahun agar dia bisa tumbuh disana. Faktornya banyak, bisa karena dulu aku pernah kerja di pabrik yang menggunakan bahan kimia, bisa karena rokok, bisa karena asap kendaraan. Intinya, multi-faktor.

Akhirnya untuk melihat lebih jauh, diputuskan untuk cek pakai fiber optik fleksibel. Tapi karena sedang pandemi, harus rapid test dan CT thorax dulu untuk meminimalisir risiko penularan Covid-19.

20 Oktober 2020

Rapid test dan scan CT Thorax. Semua berjalan biasa aja kalau hari ini. 

21 Oktober 2020

Alhamdulillah hasil rapid test dan CT Thorax bagus, jadi hari ini aku bisa diperiksa lebih spesifik lagi menggunakan fiber optik fleksibel. Kabel ini besarnya kira-kira sebesar sedotan plastik. Masuk dari hidung kanan dan terus masuk sampai ditenggorokan. 
Rasanya? Mantap.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, menurut dokter spesialis THT, sebaiknya di operasi secepatnya. Ada risiko kesulitan ketika bernapas dan menelan. Karena  penebalan dinding posterior faring berhadapan dengan tonsila lingualis. Jadi, yang seharusnya makanan langsung aja masuk ke organ pencernaan harus berjuang keras dulu ditenggorokan. Dan, ada adenoid juga.

Hari ini juga akhirnya aku memutuskan atur jadwal operasi, tentu saja setelah mencari second opinion dimana semua jawabannya, "Operasi aja teteh".
Bhaique.


23 Oktober 2020

Pas lagi asyik kuliah, kira-kira pukul 09.00 WIB tiba-tiba di telpon dari Rumah  Sakit. Diminta untuk swab test dan lanjut operasi keesokan harinya. Kaget banget, karena kok cepat banget di acc sama asuransinya. Aku kira masih pekan depannya atau bulan depan operasinya. 

Kabar baiknya, aku tidak khawatir jadwal operasi bentrok dengan jadwal UTS. Kabar mengejutkannya. kok cepat amat. Packing aja belum.

Pukul 11.00 WIB, pergi ke RS. Karena harus nunggu suami pulang dulu dari tempat kerjanya. Which is, tempat kerjanya jauh. Butuh waktu kira-kira sejam buat sampai di rumah. Sampai di RS, urus administrasi, swab test, terus masuk UGD sambil nunggu kamar isolasi. Iya, diisolasi dulu sampai hasil swab pcr keluar. Kalau hasilnya positif, operasi ditunda sampai hasil swab pcr negatif. Kalau negatif, yaudah besok operasi.

24 Oktober 2020

Yeay, hasil swab PCR negatif. Artinya sore nanti pukul 16.00 WIB jadi operasi. Sebelum operasi, diminta puasa dulu selama 8 jam. Akhirnya pindah dari ruangan bertekanan negatif ke ruang rawat inap biasa. Langsung telpon suami buat nemenin.

Mendekati saat-saat operasi. Jujur, rasanya biasa aja. Karena, atuhlah cuma operasi amandel, pasti nggak akan sakit-sakit banget. Paling lama, hari Senin juga pulang. Soalnya aku baca postingan di blog orang lain sama googling itu paling lama tiga hari juga udah di rumah lagi. Setelah itu, seminggu atau dua minggu kemudian udah bisa makan normal lagi.

Pukul 15.00 WIB, dikabarkan bahwa operasi mundur jadi pukul 17.00 WIB. Suamiku datang bawa wafer yang kelihatannya enak banget. Namanya juga lagi puasa yaa, apa aja kayaknya enak dan pengen. Padahal biasanya, sebulan di kulkas juga enggak ada yang nyentuh sama sekali.

Dua jam kurang banget buat ngobrol sama suami. Tapi ya harus diterima. Lagipula,  kebanyakan operasi amandel nggak menyebabkan kematian. Jadi, aku santuy weh. Insyaa Allah masih panjang umurnya. Nggak ada yang teralu di khawatirkan.

Pukul 16.40 WIB, aku di dorong-dorong dari kamar rawat inap  ke ruang operasi. Kirain cuma pakai kursi roda, eh ternyata sak kasur-kasurnya di dorong. Pusing banget ih. Abis di dorong-dorong, sampai di ruang transit sebelum operasi. Ditanya dulu, ada alergi obat nggak, ada alergi makanan nggak. Riwayat sakit apa, pernah operasi nggak, dan lainnya. Teuing ah, aku lupa. Banyak soalnyaa.

Beberapa menit kemudian, dokter spesialis THT datang. "Bismillah ya bu, kita mulai. InsyaaAllah 45 menit selesai. Kita sama-sama minta di temani sama Allah." 
Langsung weh di dorong lagi ke ruang operasi, dadah dadah dulu sama suami. Pas masuk ruang operasi, dingiiin banget. Terus disuruh pindah ke kasur operasi, dimana kasurnya ini kecil banget, aku miring kanan atau kiri aja bisa jatuh. 
Sempat aku bercandain juga dokter-dokternya, bukannya nanya, nanti operasinya mulai dari mana dulu, pertama apa. Malah aku nanya, "ini kenapa kasurnya kecil banget, nanti kalau aku jatuh gimana?", "kasurnya enggak ada yang agak besar dikit?", "Duh, kasurnya kecil, aku nggak bisa guling-guling yaa dok, ntar jatuh."
Dokternya langsung melakukan intubasi, sambil bilang, "udah yaa, ibu tidur."

Abis itu aku langsung tidur dan tidak ingat apa-apa lagi.


25 Oktober 2020

WOW, aku dimana? Apakah aku sudah meninggal? Kaget banget karena kamarnya bukan kamar rawat inap yang  aku tinggalkan tadi. Ini dimana, kenapa aku tidak bisa bicara. Padahal mau kasih tau suster. Sus, fyi aku sudah sadar loh. Tapi kok nggak bisaaa? Apa aku jadi kehilangan suaraku setelah operasi? Kenapa seram sekaliiii.

Tanganku, kenapa diikat? Ih, kenapa aku drama sekali? Tidak disangka-sangka yaaa. Lalu, aku mendengar suara mesin ventilator. Kok hidungku rasanya tidak enak sama sekali. Seperti ada yang mengganjal. Gimana caranya manggil suster? Ya aku goyang-goyang aja ranjangnya sambil kaki aku naik-naik.
Langsung heboh semuanya datang. 

Aduh, aku dimana sih? Kenapa semuanya tegang banget. Bahkan dokter THT pun ada. Ini jam berapa. Tapi ini ruangan nggak ada jendela yang menghadap ke luar. Apakah aku di ruang intensive care? Apa ini sudah di alam lain, aku sudah di kubur? Mereka itu bukan dokter dan suster, tapi malaikat. Huh, kenapa sih pikiranku sampai kesana.

Aku kenapa sih? Sakit aja mikir mulu. Kesel. Yaudahlah aku tanya aja, suamiku mana. Langsung dipanggilkan. 
Pas ia datang, aku langsung nanya, "ini dimana? aku kenapa?
Aku cuma ingat dia jawab, "sekarang jam 3"

Udahlah, aku enggak tau dia jawab apa selanjutnya. Aku malah bobo lagi.


27 Oktober 2020


Aku bangun, sadar penuh. Udah siang kayaknya. Oh iya, aku pakai ventilator, selang makan, kateter. Sak badan-badanku enggak lepas dari alat. Aku optimis akan panjang umur, gatau kenapa. Yakin aja. Kalau enggak, aku nggak bisa nulis blog ini hehehe

Pas udah sadar, langsung nanya-nanya sama suami. 
Kemudian dijawab, kemarin itu aku hampir gagal napas kalau aku langsung cabut selang napas. Jadi yaudah weh, dimasukkan ke ICU. 
Lihat dari wajahnya, suamiku ini beneran sedih. Oh, artinya aku parah yaa kondisinyaa.


REFLEKSI


Satu hal yang sangat aku syukuri. Allah masih memberikan kesempatan hidup buat aku. Dimana enggak mudah melewati semua itu. Semua berjuang dengan caranya masing-masing. 
Aku kagum sekali pada suamiku yang tetap realistis dan memperjuangkan aku. Tidak serta merta menyalahkan dokter. 
Alhamdulillah, kami memegang teguh kalimat "Usaha tidak mengkhianati hasil, tapi kalau Allah bilang 'KUN' kita bisa apa selain pasrah?"

Secukup-cukupnya iman yang menurut kami masih kecil banget. Kami yakin, kuasa Allah diatas segalanya. 
Kami, tidak menyalahkan siapapun. Aku, khususnya, sangat mengapresiasi dokter-dokter yang terlibat dalam operasi yang telah aku jalani. Aku yakin, mereka sudah berusaha dengan iman yang maksimal juga. 
Semua jelas terlihat ketika dokter THT datang menemui aku yang baru saja sadar, kemudian beliau bilang, "Ibu saya minta maaf, semua tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Maaf  ibu harus masuk sini dulu (ICU), ya. Kalau ibu cepat-cepat keluar dari sini, risikonya ibu akan gagal napas. Bismillah kita landing pelan-pelan ya bu. Saya mau, ibu masuk sini dalam keadaan kurang sehat tapi keluar dari sini jadi tambah sehat."

Buat aku, itu adalah pengakuan dan tanggungjawab luar biasa dari seorang tenaga medis. Beliau, tentu saja tidak gagal. Semua sudah kuasa Allah. Bahkan sampai saat ini, beliau mau aku repotkan dengan pertanyaan-pertanyaan terkait kondisiku di luar jam praktiknya.

Aku bangga, suamiku tidak serta merta bilang, "Buat apa masuk ICU? Ini permainan rumah sakit aja!"
Ia terlihat sangat realistis. Tidak menyalahkan siapapun. 

Terimakasih karena sudah menemaniku berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Staycation Seru di Bekasi

Saat libur panjang tiba tak jarang aku bingung harus liburan kemana. Mau keluar negeri, budget terbatas. Mau ke liburan ke daerah puncak, ma...