Mana sini yang suka bicara seperti dijudul, harus dikasih pelajaran untuk semakin berempati dengan orang lain. Belajar menaruh simpati pada setiap keadaan.
Saya tau, keadaan saat ini sangat tidak mudah, saya pun sempat denial. Sempat tidak terima dengan beberapa peraturan yang ada. Masih ingat kan ketika awal pandemi? Hampir seluruh daerah menetapkan pembatasan sosial skala besar, eh, tetangga depan rumah masih bolak-balik keluar sama pacarnya. Buat saya, kok peraturannya karet gini ya. Jadi, ya saya hanya bisa bertahan sebulan di dalam rumah aja. Benar-benar enggak kemana pun. Belanja sembako dan sayur, online semua. Setelah itu, keluar rumah sebatas cari makanan dan ke rumah orang tua dan mertua, kebetulan emang dekat banget. Ibaratnya selemparan batu aja sampai.
Melihat kondisi dan kebiasaan masyarakat yang susah banget patuh sama peraturan pemerintah dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan, saya sudah memprediksi dari awal kalau pandemi ini enggak akan sebentar. Tapi enggak pernah menduga akan selama ini juga, jujur. Sekarang saya sudah hidup normal menurut versi saya semua dengan protokol kesehatan yang ketat.
Covid enggak akan ada kalau enggak ada PCR dan swab antigen. Yhaaa, tipes sama DBD juga enggak ada kok kalau enggak di cek darahnya. Diabetes juga enggak ketauan kalau enggak dilakukan pemeriksaan lab dan penunjang lainnya. TBC, liver, gagal ginjal, juga sama. Namanya enggak diperiksa, ya enggak akan ketahuan. Kehamilan awal yang enggak diperiksa pakai testpack dan ditegakkan hasilnya pakai USG juga enggak akan ketauan, ya ketauannya nanti kalau perut semakin membesar dan diakhiri dengan persalinan.
Emang masih banyak yang enggak tau, ya? Kalau di dunia ini ada beberapa penyakit yang disebagian orang tidak bergejala atau gejalanya cenderung ringan? Emang ada? Ada! Contohnya saya sendiri, enggak pernah ke spesialis THT, sekalinya ketemu dokternya langsung ketauan ada tumor ditenggorokan. Mau nangis, mau marah, intinya enggak terima. Gejalanya cuma kalau lagi makan terus mau menelan makanan rasanya susah. Ya kalau dipikir, aku cuma mengira kalau minumnya kurang banyak, mana kepikiran tumor dan segala macamnya.
2018, saya kena tipes aja masih bisa work from hospital, masih segar, masih semangat, masih bisa mikir, masih bisa jalan, tapi hasil lab cenderung buruk. Itulah yang dibilang gejala ringan padahal berat
2020, pasca operasi, masuk ICU, masih kepikiran loh ngerjain quiz akuntansi, padahal tangan diikat kanan kiri, alat dipasang dari ujung kaki sampai ujung kepala. Selasa malam keluar ruang ICU, Rabu pagi speaking test padahal abis operasi tenggorokan. Alhamdulillah, masyaaAllah Tabarakallah, saya diberikan nikmat yang banyak saat itu hingga bisa bertahan sampai saat ini.
Pertama, karena ada nikmat dari Allah makanya saya bisa seperti itu (kalau enggak nulis ini dibilang kafir takutnya). Kedua, metabolisme saya masih cukup bagus dan ambang nyeri saya bisa dibilang diatas rata-rata. Saya demam >39c aja masih bisa kuliah daring, work from home, dll. Saat itu, saya menyerah dan yaudah kita ke rumah sakit karena saya >3 hari enggak bisa makan apa-apa, minum aja susah. Jadi kalau dibiarkan khawatir akan lebih parah.
Sementara itu, suami saya, batuk pilek aja udah tidak berdaya. Geser badan aja susah. Padahal saya merasa sakitnya yhaa gitu doang. Tapi kan enggak bisa saya remehkan, emang dia tuh ambang rasa nyerinya masih dibawah saya. Tapi ya akhirnya saya tau, saya kalau sakit jarang ambruk tapi sekalinya ambruk langsung parah. Terakhir saya tipes dirawat 11 hari.
Kalau kasus saya masih enggak bisa kalian terima, coba datang ke spesialis kulit dan kelamin. Tanya, berapa banyak yang kena penyakit kelamin tapi tidak bergejala eh malah menularkan ke pasangannya. Namanya asimtomatik pasti ada. Karena kembali ke daya tahan tubuh dan sistem metabolisme masing-masing individu. Jangan dipukul rata.
Untuk menjadi peduli, tidak harus kena covid dulu kan? Iya kalau kamu kena, terus virusnya yang mati. Kalau kamu yang meninggal, gimanaa? Apakah masih bisa buat conferensi pers terus bilang Covid itu nyata? Yhaa telat, udah enggak bisa.
Hari ini, kasus melonjak bukan karena mau Iduladha. Pertama, karena ada takdir dari Allah (kalau enggak sebut ini ntar dibilang kafir). Kedua, karena ngeyel. Tidak percaya covid itu ada dan membandingkan, "di luar negeri udah bebas masker tuh" Yhaa, mon maap mereka mau diatur sama pemimpinnya. Coba disini, beuuuh dibilang konspirasi abcd, permainan politik, rumah sakit dan dokter cari keuntungan, banyak deh. Tapi, yang namanya oknum ada aja, yang harus disadari, mereka yang bekerja sepenuh hati dan sekuat tenaga, jauh lebih banyaak.
Kalau ada yang bilang, "mudik dilarang, ketemu sama orang tua enggak boleh," ya tapi disuruh swab antigen aja enggak mau, kemahalan. Diminta isolasi banyak alasan. Padahal semua itu demi kebaikan bersama.
Coba yang bolak-balik bilang covid nggak ada. Kalau ada bantuan covid apakah enggak daftar? Ya daftarlah. Mulai prakerja sampai bantuan lainnya. Sampai cuma perkara bantuan beras sama sembako yang kalau diuangkan enggak sampai dua ratus ribu rupiah aja kadang jadi masalah. Baiknya kalau emang enggak percaya covid, enggak percaya juga sama segala bantuan yang ada. Sambil teriak gara-gara Covid penghasilan berkurang.
Enggak percaya Covid tapi kalau terjadi hal negatif bawa-bawa Covid, sungguh tidak konsisten.
Saya ke kampung halaman itu terakhir awal 2020, sampai sekarang masih bertahan untuk enggak mudik. Kalau ditanya, kangen banget sama keluarga disana. Tapi aku menyadari bahwa aku saya harus menjaga diri sendiri disini juga menjaga keluarga disana.
Sempat menentukan skenario yang harus dilakukan jika harus mudik, tapi biayanya mahal. Minimal berangkat harus antigen, sampai sana harus langsung PCR terus isolasi dulu sambil tunggu hasil keluar. Keluarga yang dikunjungi juga harus mau di tes ini itu. Ketika pulang, sampai rumah harus PCR dan isolasi lagi. Coba bayangkan, kalau gitu biayanya kan banyak. Makanya saya memutuskan bertahan aja, menahan rindu yang sudah menggunung.
Kalau kamu merasa enggak bisa seperti saya, gapapa. Saya mah bisa.
Kembali lagi, yang bilang covid enggak ada. Coba ke rumah sakit umum pemerintah dan lihat antrean IGDnya. Banyak para istri yang menunggu sampai suaminya bisa masuk ke ruang perawatan, banyak anak yang berharap orangtuanya segera mendapat pertolongan, dan enggak sedikit juga para suami yang berharap istrinya bisa bertahan dan membesarkan anak mereka bersama.
Akhir 2020 lalu, saat saya kena tipes, saya harus menunggu lebih dari 24 jam untuk menunggu giliran masuk ke ruang rawat inap. Saya ingat banget, itu sebelum libur natal dan tahun baru tapi setelah libur panjang apa gitu, saya lupa. Apalagi sekarang? Saat protokol kesehatan benar - benar dilanggar dan diremehkan.
=========
Mau tau kenapa saya masih bisa bertahan dengan segala kebosanan yang ada?
Karena saya takut menularkan kepada orang lain. Saya menjaga diri semaksimal mungkin, jangan sampai orang lain yang kena. Misal saya kena tapi enggak bergejala, ya Alhamdulillah. Tapi kalau yang ketularan dari saya adalah tulang punggung keluarga, atau pencari nafkah utama, sementara ia tanggungjawab besar terhadap keluarganya. Apa saya enggak akan merasa bersalah? Tentu aja enggak, saya akan menjadi yang merasa paling bersalah dan menyalahkan diri saya sepanjang sisa usia. Jujur, saya enggak mau punya feeling guilty gitu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar