Terlahir dengan suatu latar belakang tentu bukan pilihanku sendiri. Semuanya bahkan sudah ditentukan jauh sekali sebelum aku dilahirkan. Kalau ditanya, aku maunya lahir dengan latar belakang keluarga yang sempurna, tanpa cacat dan cela. Hingga aku tidak perlu merasakan dicaci dan dihina seolah tak punya muka. Seakan, akulah insan paling berdosa. Namun sejauh apapun khayalan itu, aku sangat bersyukur dengan hidup yang sudah dan akan aku lalui.
Aku tahu, semua orang lahir dengan cerita bahagia dan ujiannya masing-masing. Entah kenapa, kadang aku merasa semua yang aku dapatkan sangat tidak adil. Kadang, aku pura-pura bahagia, pura-pura baik-baik saja. Bahkan dari orang terdekat, baik itu keluarga ataupun pasangan. Aku tahu, hidupku kadang seru, tapi kadang seru banget. Tidak jarang, pundakku bertambah berat saat ada masalah yang tak kunjung selesai.
Perbedaan latar belakang dengan orang lain seharusnya membuat hidup lebih berwarna tapi entah kenapa kadang tidak sesuai ekspektasi. Tidak bermaksud menyinggung kelompok atau individu tertentu, tapi tidak jarang ada saja yang menilai orang lain berdasarkan harta dan tahta.
Aku sadar betul bahwa harta dan tahta cukup penting untuk memenuhi kehidupan tapi apakah empati tidak bisa dibentuk karena banyak privilage yang telah diterima? Kadang aku sakit sekali, ingin rasanya menjauh dari pergaulan tapi tak jarang aku urungkan karena aku masih diterima dengan sangat baik. Namun tidak di kelompok lainnya bukan hanya tidak diterima, belum bergabung saja sudah ditolak, padahal sudah kenal lama.
Tidak jarang aku dipandang sebelah mata karena latar belakang keluargaku. Yes, aku hidup tanpa privilage selama masa kecil hingga remaja. Jangankan berharap privilage, bisa sekolah saja sudah Alhamdulillah. Orang lain mungkin tidak tau bahwa orang tuaku, khususnya mama, bekerja keras sekali untuk keluarga kami. Bukan mauku, bukan inginnya mama untuk hidup dibawah tekanan berupa kemiskinan struktural. Kami bisa apasih selain bekerja keras?
Bukan juga mauku lahir sebagai anak dari bapakku. Bukan bapakku tidak baik, tapi karena dia aku jadi banyak dicibir. Banyak dianggap bahwa aku seperti dia, banyak utang dan suka melupakan utang. Jangankan urang, mau mengajukan pinjaman aja takut. Nggak jarang aku juga dianggap menghabiskan uang pasangan. Tapi, bukankah aku perempuan yang berhak mendapatkan nafkah lahir dan batin? Bukankah sudah sewajarnya suami menanggung hidup istri setelah menikah?
Banyak hal yang sudah aku lalui, tidak sedikit pula aku mencoba mengubah pandangan orang tentangku. Tapi kadang itu nihil, tidak ada dampak apa-apa. Bagi yang baru kenal, mungkin menerima aku dengan segala perubahan yang ada pada diriku. Untuk yang kenal lebih lama, banyaknya tidak percaya dan menganggap aku tak pernah berubah, bahkan menganggap aku seperti bapakku.
Ingat nggak waktu kecil kita berteman dengan siapa saja tanpa memandang jumlah kekayaan orang tua? Pasti ada perbedaan jenis mainan, tapi kalau teman yang lebih berada mengeluarkan mainannya semua anak yang ada disana akan senang, karena akhirnya bisa coba mainan mahal. Anak kecil memang setulus itu, tapi ketika beranjak remaja biasanya mulai berbeda dari fase kehidupan sebelumnya.
Ada beberapa faktor yang membuat individu mengubah kebiasaan dan sudut pandangnya. Bisa jadi karena meluasnya pergaulan atau lingkup pergaulan yang semakin spesifik, jenis pekerjaan, besarnya penghasilan, yang dimana ujungnya akan ada perubahan akan gaya hidup. Tidak ada yang salah dengan perubahan gaya hidup, yang salah hanya tidak adanya empati. Sehingga tidak bisa membaca situasi. Rasa simpatinya bahkan tidak ada.
Setelah menikah, aku menyadari banyak hal menjadi berbeda. Saat itu juga aku sadar, bahwa aku dan orang lain bisa jadi start digaris yang berbeda. Hingga tak jarang aku mendapatkan hujatan. Kenapa belum beli rumah? Kenapa belum punya anak? Kenapa kamu masih membiayai orang tua kamu padahal kamu udah nikah? 'Hei kenapa kamu ngomong doang, sini beliin rumahnyaa'
Ketika orang lain setelah menikah bisa tetap tinggal bersama orang tua/mertua, aku tidak bisa. Karena rumahnya tidak cukup untuk ditinggali oleh dua keluarga, bisa aja sih sebenarnya, tapi buat apa hidup tanpa privasi? Hehe
Aku juga menyadari, saat menikah aku dan suami berada di titik nol, mungkin malah minus. Jangan samakan aku dengan orang lain yang menikah tidak ada beban, semua hal mulai dari akad sampai resepsi dibiayai orang tua. Aku dan suamiku enggak. Kami masing-masing membawa beban dan tanggungjawab masing-masing.
Jujur, aku ingin banget dianggap sebagai individu berbeda. Tidak disangkutpautkan terus dengan latar belakang keluarga. Aku juga ingin dianggap ada tanpa dinilai berdasarkan harta. Saat ini, aku sedang berjuang sekuat yang aku bisa agar bisa bahagia. Ingin juga mengubah sejarah keluarga, tapi kenapa seakan tidak boleh.
Nggak jarang, aku pengen bilang, 'yuk yang bilang paling gini, paling gitu, hei anda bisa diam tidak cangkemnyaa!'
Oh iya, kalau akhir-akhir ini aku kelihatan lebih santai, lebih terlihat menikmati hidup, bisa pesan makanan dari restoran mana pun. Itu adalah bukti kerja keras mama. Hingga akhirnya aku bisa selesai sekolah, terus bisa kerja. Bukti bahwa akhirnya aku bisa sedikit demi sedikit membayar utang keluarga. Dimana itu adalah gambaran bagaimana aku bekerja keras selama ini. Bukti dimana aku pengen bangkit.
Aku sadar bahwa aku dilahirkan tanpa privilage, tapi tidak ada salahnya kan aku menciptakan kebahagianku sendiri? Siapa tau bisa jadi privilage bagi anak cucu keturunanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar