Finally, setelah setahun lebih taat pada protokol kesehatan dan baik-baik saja, akhir Juni lalu, untuk pertama kalinya aku mengalami gejala Covid-19. Jujur enggak pernah menyangka. Karena aku yakin banget udah menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Makan yang bergizi, minum vitamin, berjemur dan olahraga.
Menghadapi si Covid ini penuh banget drama. Udahlah badan sakit, suami juga sakit, eh masih harus drama cari tempat isolasi. Entah kenapa gemas banget sama suamiku. Karena sejak awal, bahkan jauh sebelum confirm positif Covid, aku pernah bilang "kalau sampai kita berdua positif, aku mungkin enggak bisa kalau harus isolasi di rumah berduaan aja sama kamu. Karena aku bakal stress banget."
Bukan enggak sayang, tapi karena aku paham kondisi aku. Aku mungkin secara fisik sehat-sehat aja. Tapi kalau lihat orang yang satu rumah sama aku sakit, aku stress banget. Maka aku meminta gak tersebut pada suamiku. Bukan enggak mau mengurusnya ketika sakit, tapi kalau sama-sama sakit mau bagaimana?
Biar bagaimana pun, aku memikirkan diriku sendiri. Sudah banyak sekali kasus yang meninggal karena kelelahan mengurus keluarga yang terinfeksi Covid. Aku tentu tidak mau, bukannya enggak ikhlas ya. Beda. Tapi yaaa, suamiku ngeyelnya masyaa Allah, enggak ada usaha apapun, minta tolong siapapun buat cari tempat isolasi. Misal kami isolasi di luar pun gapapa, bareng juga enggak masalah, yang penting ada yang kontrol langsung, minimal ada dokter yang setiap hari tanya kondisi secara langsung, ibaratnya ada yang pegang lah. Namun, yang terjadi adalah suamiku menyangka aku tidak peduli dengannya. Padahal kalau salah satu dari kami butuh perawatan lebih gimanaaa....
Covid ini berat buat aku, selain suami yang enggak sensitif sama situasi dan kondisi. Gejala yang aku alami juga cukup membuat aku overthinking dan merasa sedang otw surga terus.
Gimana enggak, ketika aku demam, suamiku drama, padahal demamnya udah enggak.
Sebagai manusia yang sejak dulu kalau sakit tetap bisa aktivitas normal, jujur kaget banget kok bisa ya 'cuma' batuk pilek dan demam langsung enggak bisa melakukan aktivitas apapun.
Berawal dari kesombongan itu, pada akhirnya aku yang paling lama pemulihannya. Bahkan hingga hari ini, aku masih gampang lelah, sesak napas dan terakhir hasil lab menunjukkan ada pengentalan darah. Beneran yaa, manusia itu enggak boleh sombong.
Selama positif Covid, keluhanku cukup banyak. Karena sebelum positif covid pun aku sudah ada keluhan batuk dan hasil CT Thorax menunjukkan adanya bronchitis, walaupun sedikit ya efeknya jadi cukup besar. Selain itu aku memang masih dalam perawatan dengan dokter THT karena sakit tenggorokan dan nyeri telan.
Berikut kronologis yang aku alami sejak gejala awal Covid-19
25 Juni 2021
Mulai demam di suhu 37.8, saturasi masih normal di 96 - 98
26 Juni 2021
Masih demam, mulai ada rasa linu di seluruh tulang, badan pegal luar biasa. Melihat gejala ini aku lebih curiga ke tipes daripada Covid
27 Juni 2021
Keadaan semakin baik di siang hari, sejak sore menuju malam hari mulai demam lagi di 38.7, ditambah badan masih linu dan rasanya lemas banget. Saturasi rata-rata 90, mulai curiga ada kemungkinan Covid
28 Juni 2021
Keadaan di tanggal 27 Juni tidak kunjung berubah. Jadi jam 10.00 memutuskan untuk ke klinik dan dokter klinik meminta untuk swab antigen dan tes widal. Saturasi 88, mulai curiga ke arah Covid. Hasilnya positif keduanya hehe, pantas aja yaa rasanya mantab.
Sore tes PCR
29 Juni 2021
Demam mulai turun, cenderung normal dan stabil. Sakit tenggorokan, batuk, anosmia, dan ada masalah dengan indra pengecap. Mulai enggak nafsu makan. Makan nasi cuma dua sampai tiga sendok makan. Alhamdulillah masih bisa makan buah. Saturasi masih di 90 - 93, tidak ada sesak napas
30 Juni 2021
Gejala cenderung mirip dengan hari sebelumnya, saturasi 90 - 93, masih tidak ada sesak napas.
1 Juli 2021
Hasil PCR aku dan suami positif. Siang hari memutuskan untuk telemedicine dengan dokter THT yang merawat aku sejak September 2020. Menginfokan kondisiku saat itu yang positif Covid dan meminta pertimbangan perawatan yang tepat selama isolasi mandiri. Akhirnya diberikan beberapa resep obat yang harus dikonsumsi. Saturasi rata-rata per 1 Juli 2021, 90. Disarankan proning dan minum paracetamol
2 Juli 2021
Anosmia, lemas, batuk, saturasi 89 - 91, tidak ada sesak napas. Mulai siap siaga, hubungi semua teman yang dokter dan minta saran tindakan terbaik yang bisa dilakukan di rumah. Karena khawatir ada happy hipoxia. Diminta untuk tetap rutin proning dan sebisa mungkin makan serta minum yang cukup.
3 Juli 2021
Lemas, batuk, anosmia berubah menjadi parosmia, saturasi pada siang hari 84 - 86, sore sempat turun di 78, malam hari mulai naik ke 88 tapi timbul sesak napas. Enggak bisa tidur.
4 Juli 2021
Tengah malam coba cari RS dan oksigen. Suami mulai minta tolong cari oksigen dan rumah sakit. Saat itu, oksigen langka, kalaupun ada harganya tidak masuk akal. Semua RS yang dihubungi waiting list. Minta bantuan ke perusahaan suami dan teman-teman dokter untuk dapat jalur cepat bisa masuk RS, nihil. Semua dokter yang dihubungi suamiku menyarankan tetap proning, sebentar gak apa asal rutin.
Anosmia, lemas, batuk, saturasi 89 - 91, seharian berjuang dengan napas yang sesak sekali. Ke kamar mandi pun sesak napas parah padahal jaraknya cuma +/- 10 - 12 meter
5 Juli 2021
UAS hari pertama, memutuskan untuk ikut susulan, karena kondisi tidak memungkinkan. Kondisi tetap sama, anosmia, batuk, lemas, masih susah makan. Timbul bercak merah di seluruh tubuh kecuali wajah. Saturasi 89 - 91
6 Juli 2021
Memaksakan diri ikut UAS, karena kalau semua ikut susulan biayanya mahal. Maksimalkan tenaga untuk UAS aja. Abis itu lemas lagi dong. Masih seperti hari sebelumnya, lemas, batuk, anosmia, saturasi mulai 90 - 92. Ditelpon perusahaan ada kamar RS kosong tapi merasa kondisi udah jauh lebih baik, jadi mengikhlaskan kamar untuk orang lain yang mungkin membutuhkan.
7 - 11 Juli 2021
Pada 7 - 11 Juli 2021 cenderung sama dengan sebelumya, tapi mulai bisa merasakan makanan dan indra penciuman mulai pulih. UAS lancar Alhamdulillah. Saturasi berangsur membaik 90 - 96.
Selanjutnya menjalani isolasi mandiri dengan hati yang bahagia.
Riwayat perjalanan sebelum terkena Covid-19
Sejak awal pandemi hingga saat ini, aku memang membatasi diri untuk bepergian. Aku urutkan tempat yang sering aku datangi ya
1. Rumah orang tua dan mertua : bisa dua sampai tiga hari sekali
2. Rumah Sakit : hampir setiap pekan
3. Warung sayur dan supermarket : dua pekan sekali
4. Rumah saudara : jarang banget dan membatasi mendatangi saudara yang punya komorbid, bayi serta tidak taat prokes.
5. Restaurant : lebih sering take away, pernah sesekali dine in tapi lihat kondisi restauran, kalau sepi makan disana, kalau rame take away.
6. Mall : selama pandemi ke mall baru tiga kali. Prestasi banget, biasanya seminggu tiga kali lhoo.
Selama pandemi mengurangi untuk terima tamu, paling sering ke rumah adalah adikku yang umur enam tahun.
Jadi, sekian cerita perjalananku bersama si Covid. Semoga kita sehat selalu dan dijauhkan dari virus berbahaya ini. Aamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar