Dalam kehidupan, idealnya sekolah dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas baru kemudian kuliah, setelah itu bekerja sesuai bidang yang dikuasai. Namun tidak setiap orang memiliki kesempatan yang ideal pula. Sebagian harus putus sekolah pada saat tingkat dasar, sebagian lain harus menerima takdir harus menikah muda karena pergaulan yang sangat bebas, sebagian lainnya bisa hidup dengan ideal.
Perbedaan takdir tersebut terkadang menjadikan manusia makhluk yang banyak mengeluh tapi disisi lain ada keinginan bekerja lebih keras untuk mencegah hal yang tak diinginkan terjadi pada anak cucu keturunannya. Apakah setelah bekerja keras semua akan berjalan dengan ideal? Tidak juga.
Jika ada yang kehidupannya tidak ideal, apakah berdosa? Tentu tidak. Tapi rasanya akan menyakitkan karena sebagai manusia pasti maunya yang terbaik, kan.
***
Senada dengan apa yang saya rasakan. Kehidupan saya rasanya tidak ideal seperti teman-teman saya. Ketika mereka bisa melanjutkan studi mereka dengan tenang, saya harus banyak sekali berdamai dengan kenyataan. Sekuat tenaga saya harus menerima takdir yang sebenarnya enggak saya suka saat itu. Sebagian teman juga heran dengan jalan yang saya ambil. Saya yang sangat ambisius dengan pendidikan harus dipatahkan dengan keadaan. Dimana saat itu secara terpaksa saya harus bekerja lebih dahulu.
Oke, sebagian bisa kuliah dengan mengambil kelas karyawan. Tapi saya benar-benar tidak bisa. Selain karena uangnya enggak cukup kalau saya harus kuliah, di sisi lain sebagai anak pertama, anak perempuan pertama, dan tentu saja sebagai tulang punggung keluarga saya dipaksa bertanggungjawab untuk kehidupan keluarga saya. Di samping itu, jadwal kerja yang tidak bersahabat, harus masuk kerja dari Senin - Sabtu, kadang Minggu pun harus masuk. Jam pulang yang sering diatas pukul 19.00 membuat saya kesulitan mencari kampus yang jadwalnya bersahabat pada saat itu.
Sejujurnya saat itu saya harus menjalani hari-hari saya dengan sangat terpaksa. Setiap hari berat sekali langkah saya untuk berangkat kerja. Lebih berat lagi saat pekerjaan yang saya dapatkan tidak sesuai ekspektasi saya. Maaf ya saya banyak mau :(
Sehingga pada saat itu saya banyak mengikuti seminar tentang kepenulisan, bergabung dengan berbagai organisasi yang membuat saya bisa bertemu orang-orang baru yang akhirnya bisa mendukung saya untuk berkembang lebih baik. Berbagai kegiatan saya ikuti, mulai yang bersifat sosial hingga yang membuat saya bisa mendapatkan pekerjaan sampingan. Saya berpikir itu karena saya yang ambisius atau tidak bisa menerima kenyataan?
Memang tidak semua teman lanjut kuliah. Sebagian teman saya lainnya ada yang langsung bekerja, tapi saya melihat mereka melakukannya karena suka dan tidak ada paksaan dari siapapun, sangat jauh berbeda dengan saya. Saat itu, uang bagi saya rasanya enggak jauh sama kertas. Sekadar lembaran-lembaran saja. Cuma sebatas saldo rekening yang pagi masuk, siang sudah habis. Rasanya, hidup saya berat sekali saat itu. Mereka sangat suka lembur sementara saya tidak suka, maunya kalau selesai waktu kerja ya langsung pulang. Mereka sanagt senang saat melihat saldo gajinya lebih besar sementara saya bodo amat. Begitu tersiksanya saya bekerja saat itu.
Sebenarnya tempat kerja saya sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan. Saya juga bahagia dengan segala fasilitas yang ada, tapi tidak dengan environmentnya. Bukan juga karena lingkungan kerjanya jelek ya, mungkin karena kepribadiaan saya enggak cocok aja. Saya yang straight banget, cuma kenal hitam dan putih enggak bisa menerima abu-abu, secara langsung enggak bisa menerima segala perlakuan yang saya dapatkan disana. Saya sangat tidak senang dibicarakan itu ini, ditegur dengan cara keras. Ya anggap aja karena saya seorang dengan borderline maka saya bersikap demikian.
Sebenarnya, menurut banyak orang saya sudah mendapatkan posisi yang nyaman. Dengan fasilitas perusahaan yang serba ada dan serba mudah. Segala akses dimudahkan ketika saya bekerja saat itu. Bahkan urusan cuti pun bisa disetujui dengan mudah. Baik cuti tahunan maupun cuti haid. Tunjangan yang telah saya nikmati bisa dikatakan lebih dari cukup. Saya juga berhak memilih untuk bekerja lembur atau tidak. Segala kenikmatan yang sudah berada di genggaman, selama kurang lebih delapan tahun. Sampai akhirnya pada tahun ke-delapan saya memutuskan untuk resign. Alasan resign karena.... Rahasia ya
Saya resign setelah 18 bulan menikah. Bukan karena saya sudah ada yang menafkahi jadi saya berani resign. Namun Alhamdulillah banget setelah itu saya mendapatkan pekerjaan yang saya sukai - bahkan sampai saat ini. Sesuatu yang sebenarnya saya pikir sudah tidak mungkin. Sebuah mimpi yang sudah saya kubur ternyata bisa saya gali kembali.
Bahagia? Jelas! Siapa pula yang tidak bahagia mendapatkan apa yang menurutnya tidak mungkin? Sepertinya tidak ada ya. Terlebih lagi, setahun kemudian, pada penghujung 2019 saya mendapatkan kesempatan untuk kuliah dengan beasiswa 90% dengan UKT fluktuatif sesuai IP tiap semesternya. Awalnya saya juga ragu apakah akan mengambil kesempatan tersebut atau tidak, tapi setelah saya pikir ulang, bukankah hal itu yang sudah saya tunggu sejak dulu. Bisa duduk dibangku perkuliahan dan menjalani dengan hati yang bahagia?
Kuliah bareng sama teman-teman yang beda generasi ya emang tantangannya lumayan. Alhamdulillah saya dipertemukan dengan teman-teman yang supportif dan senantiasa mau membantu saya. Walau kadang pemikiran kita beda banget. Bahkan ada beberapa teman-teman yang tingkatannya diatas saya ketika mengirimkan pesan di Whatsapp memanggil saya dengan sebutan 'ade.' Tak jarang saya menimpali dalam hati, 'yaampun belum tau aja dia, dia lulus SD saya udah kerja dua tahun'
Kerennya, saya tidak pernah merasa sendirian. Karena teman-teman saya entah bagaimana ceritanya bisa mengerti dan membantu saya dalam urusan akademik. Kalau saya tidak mengerti akan diberitahu dan mereka dengan sungguh-sungguh akan menjelaskan sampai saya benar-benar mengerti. Saya juga tidak mengerti bagaimana hingga akhirnya kami saling terkoneksi dengan baik.
Akhirnya saya sadar, perjalanan hidup tidak harus seperti orang lain. Karena skenario kita berbeda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar